Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah bakal menerbitkan surat berharga negara (SBN) senilai Rp 642,56 triliun pada tahun 2025. Penerbitan SBN tersebut naik 42,2% jika dibandingkan dengan outlook APBN tahun 2024 sebesar Rp 451,85 triliun.
Penambahan suplai SBN tersebut dinilai sejumlah bankir akan berpengaruh kepada persaingan likuiditas khususnya di perbankan, yang pada akhirnya bank harus kreatif dalam mencari sumber-sumber likuiditas termasuk dalam instrumen alternatif selain Dana Pihak Ketiga (DPK) untuk pemenuhan likuiditas.
Senior Executive Vice President (SEVP) Tresuri BNI, Ita Tetralastwati mengatakan, penerbitan SBN sebesar Rp 642,56 triliun pada tahun depan perlu dilihat sebagai bagian dari upaya mendukung pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga: Perbankan dan Pemerintah Rebutan Dana, Likuiditas Berpotensi Kian Seret
"Peningkatan ini mencerminkan kebutuhan untuk mendorong pembangunan ekonomi, menjaga stabilitas fiskal, serta mendanai berbagai program prioritas nasional, termasuk infrastruktur dan pemulihan ekonomi," ungkap Ita kepada kontan.co.id, Jumat (6/12).
Ita bilang, banyak faktor yang mempengaruhi persaingan dalam penghimpunan DPK di tahun depan, di antaranya pertumbuhan aset, kebijakan moneter, dan juga suplai SBN.
Menurutnya, sebagai institusi keuangan, perbankan tetap berkomitmen untuk menjalankan fungsi utama sebagai intermediary, yaitu mengelola dana masyarakat untuk disalurkan ke sektor produktif melalui kredit dan transaksional lainnya.
BNI pun disebut Ita akan tetap fokus pada penghimpunan dana murah (CASA) sebagai pilar utama pengelolaan dana. Upaya ini didukung oleh peningkatan layanan digital dan optimalisasi produk-produk tabungan yang kompetitif untuk menarik minat masyarakat.
Baca Juga: BI mensinyalir Praktik Repo oleh Bank Meningkat, Duitnya Diparkir di SRBI
"Kami yakin bahwa dengan manajemen yang prudent, BNI dapat menjaga efisiensi biaya dan mendukung pertumbuhan kredit yang sehat," katanya.
Selain itu, BNI juga memiliki cadangan likuiditas melalui instrumen surat berharga likuid yang dapat dengan cepat dikonversi apabila diperlukan. Hal ini memberikan fleksibilitas dalam menghadapi dinamika likuiditas di pasar.
Adapun untuk pertumbuhan kredit, BNI tetap optimis terhadap prospek tahun depan. Likuiditas yang terjaga, dukungan dari regulator, dan fokus pada sektor-sektor strategis menjadi kunci dalam mendukung ekspansi kredit yang berkelanjutan.
Sementara Yuddy Renaldi, Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk, (Bank BJB) menilai, banyaknya instrumen investasi tentu berpengaruh kepada persaingan likuiditas khususnya di perbankan, yang pada akhirnya bank harus kreatif dalam mencari sumber-sumber likuiditas termasuk dalam instrumen alternatif selain Dana Pihak Ketiga (DPK) untuk pemenuhan likuiditas.
Baca Juga: Ambisi Belanja Jumbo Tahun Perdana Prabowo
"Meski demikian likuiditas bank masih mencukupi terlihat dari rasio-rasio likuiditas yang ada ditambah adanya kebijakan insentif likuiditas dari Bank Indonesia yg dapat dimanfaatkan perbankan," ujarnya.
Di sisi lain, Direktur kepatuhan OK Bank, Efdinal Alamsyah, berpendapat, kenaikan penerbitan SBN yang signifikan berpotensi menyebabkan ketatnya likuiditas di pasar keuangan, karena dana masyarakat terserap untuk membeli SBN, yang secara langsung mengurangi ketersediaan dana yang dapat digunakan oleh sektor swasta dan sektor perbankan.
Di samping itu, jika imbal hasil (yield) SBN yang ditawarkan lebih tinggi, hal ini juga bisa mempengaruhi suku bunga di pasar uang.
"Peningkatan biaya dana bank (cost of funds), tentu saja akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan bank karena biaya dana yang tinggi akan menekan margin bunga bersih (NIM) bank," katanya.
Baca Juga: Likuiditas Perbankan Ketat, Suku Bunga SRBI yang Tinggi Jadi Salah Satu Pemicu?
Menurutnya, jika likuiditas semakin ketat, bank akan menghadapi tantangan dalam mencari sumber dana untuk pembiayaan kredit dan akan menyebabkan suku bunga pinjaman menjadi lebih tinggi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi daya beli masyarakat serta biaya pendanaan bagi perusahaan.
Di samping itu, ketatnya likuiditas akan menyebabkan bank lebih selektif dalam memberikan pinjaman, terutama kepada sektor-sektor yang memiliki risiko lebih tinggi. Dengan kata lain, jika biaya dana semakin tinggi, bank mungkin akan lebih berhati-hati dalam ekspansi kredit mereka.
"Secara keseluruhan, kenaikan penerbitan SBN pada tahun depan memang dapat mempengaruhi ketatnya likuiditas di pasar. Kami pun harus bersiap menghadapi biaya dana yang lebih mahal, sementara pertumbuhan kredit bisa lebih lambat karena biaya pinjaman yang lebih tinggi dan selektivitas dalam penyaluran kredit," jelasnya.
Untuk itu, OK Bank disebut Efdinal perlu mengelola likuiditas dengan hati-hati dan memanfaatkan berbagai sumber pendanaan alternatif agar tetap dapat bertahan dalam kondisi pasar yang lebih kompetitif.
Ekonom Celios Bhima Yudhistira juga menilai, kenaikan SBN ini akan membuat para deposan perbankan tergiur dan beralih ke instrumen SBN dibandingkan menabung ataupun menyimpan deposito di perbankan karena selisih atau spread timbal hasil yang cukup lebar antara SBN dengan suku bunga deposito perbankan.
Baca Juga: Potensi Rotasi Investasi ke China Belum Akan Terjadi Walau Tebar Stimulus Jumbo
"Dan tentunya ini akan menjadi tekanan likuditas tahun depan, berarti tekanannya akan jauh lebih berat. Sekarang saja sudah tercermin tekanan itu pada pertumbuhan kredit, hanya kisaran 10%, jadi melambat pertumbuhan kreditnya," ucapnya.
Selain itu, di satu sisi, bank disebut akan lebih banyak memarkir dananya di SBN dibandingkan menyalurkan kredit Karena bank juga melihat tahun depan risiko penyaluran kreditnya mungkin lebih tinggi karena ada masalah geopolitik, perang dagang, problem dari sisi kinerja ekspor yang mungkin lebih lambat.
"Sehingga bank juga tidak mau mengambil banyak risiko memperlambat penyaluran kreditnya dan parkir saja di SBN. Jadi ini dari dua sisi berdampak kepada sektor real, berarti penyaluran kreditnya lebih lambat," tambahnya.
Baca Juga: Penerbitan Surat Utang Masih Rendah, Ini Penyebabnya
Menurut Bhima dampaknya bukan hanya ke banknya, tapi juga likuiditas yang mengetat karena terjadi crowding out effect juga membuat penyaluran kredit perbankan ke sektor realnya juga terhambat.
"Padahal sektor real sedang banyak mendapatkan dukungan, dan harus mendapatkan dukungan untuk bisa bertahan dan ekspansi pada tahun 2025 ke depan," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News