Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Regulator berkali-kali menyebut likuiditas perbankan tanah air begitu longgar, berbeda dengan di Amerika Serikat. Kendati demikian, bank tetap mengoptimalkan likuiditas tersebut dalam menyalurkan kredit dan menempatkannya di surat berharga negara (SBN).
Terlebih, sejak awal tahun permintaan kredit sudah naik tinggi di level 10% sejak Januari dan berlanjut di Februari 2023. Tren ini akan terus berlanjut hingga awal kuartal kedua dengan adanya momentum Lebaran yang meningkatkan permintaan kredit konsumer.
Berdasarkan data Kemenkeu, kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh perbankan per 21 Maret 2023 mencapai Rp 1.784,41 triliun. Nilai ini tumbuh 6,78% year on year (YoY) dari 21 Maret 2022 yang hanya Rp 1.671,10 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan salah satu faktor kegagalan tiga bank di Amerika Serikat karena banyak memiliki aset yang ditempatkan di surat berharga utama milik pemerintah alias AS treasury. Perry mengaku aset tersebut terlihat memiliki risiko yang rendah karena dimiliki oleh pemerintah.
Baca Juga: BSI Optimistis Pembiayaan Griya Tumbuh Dobel Digit pada Tahun Ini
Namun, terdapat risiko valuasi karena memiliki sifat available for sale (AFS) sehingga terkena mark to market valuasi. Lanjut ia, sangat kecil yang hold to maturity (HTM) sehingga terjadi loss dalam securities valuation.
Lantaran, kenaikan bunga acuan The Fed ikut mengerek yield US Treasury, ini membuat harga surat utang pemerintah AS itu turun harga. Perry menyebut itulah yang menjadi penyebab kerugian valuasi sehingga modal bank terkikis dan membuat nasabah berbondong-bondong menarik simpanannya.
Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renald menyatakan penempatan dana khususnya pada instrumen SBN di awal tahun ini cenderung menurun. Ia menyatakan ini seiring dengan kredit yang sudah tumbuh dengan baik di awal tahun.
“Adapun hingga Januari 2023 kemarin, kredit Bank BJB tumbuh 12,7% YoY. Kami juga menyesuaikan terhadap kondisi likuiditas saat ini,” ujar Yuddy kepada KONTAN pada Jumat (24/3).
Lanjut ia, sampai dengan akhir tahun kebijakan Bank BJB bersifat dinamis memperhatikan perkembangan kondisi likuiditas dan market ke depannya. Yuddy menambahkan penyaluran dana pada kredit tentu tetap menjadi prioritas utama.
“Apalagi tekanan cost of fund saat ini menjadi tantangan utama sehingga bank harus dapat mengelola aset yield-nya salah satunya dengan menyalurkan dananya dengan optimal melalui instrumen kredit,” tuturnya.
Baca Juga: Mandiri Tunas Finance Kantongi Peringkat idAAA dari Pefindo
Corporate Secretary BRI Aestika Oryza Gunarto menyatakan investasi pada SBN dilakukan sebagai yield enhancement excess likuiditas. Di sepanjang tahun 2022, porsi SBN di BRI turun 12,18% untuk mendukung pemenuhan kebutuhan likuiditas khususnya atas pertumbuhan pinjaman.
“Pengelolaan aset investasi berupa SBN dikelola secara aktif berbasis manajemen risiko sebagai salah satu alternatif optimalisasi likuiditas dan kondisi pasar. Dengan Menjaga durasi dan maturity profile portofolio sesuai dengan risk appetite bank,” jelasnya kepada KONTAN.
Selain itu, BRI juga menggunakan strategi menjaga komposisi seri surat berharga yang likuid. Juga menerapkan resep asset atau liability matching.