Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
KONTAN.CO.ID - Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% ke 12% menuai berbagai kritik, di antaranya peningkatan tarif tersebut dituding akan menurunkan volume penjualan sehingga membuat industri kolaps. Namun, benarkah demikian?
Dihubungi Tim Kontan beberapa waktu lalu, Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede mengatakan peningkatan tarif PPN sebesar 1% bukan penyebab langsung industri gulung tikar. Ia menyebut dampak kenaikan tarif PPN terhadap industri dipengaruhi sejumlah faktor.
“Dampaknya bergantung pada pertama, kemampuan pemerintah mengimplementasikan paket stimulus secara efektif. Kedua, juga akan dipengaruhi bagaimana kemampuan industri untuk menyesuaikan model bisnis dalam menghadapi perubahan pola konsumsi. Dan terakhir, akan dipengaruhi oleh stabilitas inflasi serta daya beli yang mendukung permintaan domestik,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam keterangan tertulis Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu telah menyatakan kenaikan tarif PPN tidak menyebabkan inflasi tinggi.
“Berdasarkan hitungan pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%. Dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%,” jelas Febrio.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, tarif PPN 12% juga tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa karena hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.
Contohnya ada pada ilustrasi berikut ini. Jika harga sebuah minuman bersoda Rp7.000 pada tahun 2024, dengan PPN 11% harga yang dibayar konsumen sebesar Rp7.770. Tahun 2025, dengan harga Rp7.000, harga minuman yang dibayar konsumen ditambah PPN 12% menjadi Rp7.840. Selisih harga minuman bersoda yang dibayar konsumen pada 2025 dan 2024 yakni sebesar Rp70. Jika dibandingkan dengan harga konsumen pada 2024, persentase kenaikannya hanya mencapai 0,9%.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Idrawati pun telah menegaskan perlindungan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat serta dunia usaha imbas kenaikan tarif PPN tahun depan. Insentif pajak yang dialokasikan pada tahun 2025 untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong perekonomian total mencapai Rp265,6 triliun.
“Insentif perpajakan 2025, mayoritas adalah dinikmati oleh rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM dalam bentuk insentif perpajakan. Meskipun ada undang-undang perpajakan dan tarif pajak, namun pemerintah tetap peka untuk mendorong barang, jasa dan pelaku ekonomi,” tutur Menkeu Sri Mulyani dalam konferensi pers.
Dengan terjaganya daya beli serta persentase kenaikan harga barang dan jasa yang tidak signifikan, konsumsi rumah tangga dapat tetap tumbuh dan menggerakkan roda perekonomian.
Paket insentif ekonomi kenaikan tarif PPN di antaranya berupa bantuan 10 kg beras selama bulan Januari dan Februari 2025 bagi 16 juta keluarga tidak dan kurang mampu. Tepung terigu, gula industri, dan MinyaKita hanya dikenakan PPN 11% karena pemerintah menanggung 1% kenaikannya. Masyarakat juga memperoleh diskon 50% untuk tagihan listrik berdaya 2200 VA atau lebih rendah selama dua bulan pertama tahun 2025.
Adapun, sektor UMKM memperoleh beberapa stimulus seperti pembebasan kewajiban membayar PPh bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Tarif PPh Final 0,5% bagi UMKM yang telah berakhir pada tahun 2024 diperpanjang hingga tahun 2025. Sementara itu, UMKM lainnya tetap bisa menggunakan PPh Final 0,5% selama 7 tahun sejak pertama kali terdaftar sesuai PP 55/2022.
“Oleh sebab itu, bagi para pelaku industri perlu memanfaatkan insentif yang tersedia dan meningkatkan efisiensi operasional untuk mengurangi dampak kenaikan biaya,” pungkas Joshua.
Selanjutnya: OJK Terbitkan 3 Aturan Baru Perkuat BPR dan BPRS, Ini Rinciannya
Menarik Dibaca: Ada Hujan di Malam Tahun Baru? Simak Ramalan Cuaca Besok (31/12) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News