Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sederet stimulus dari regulator telah mengalir ke sektor perbankan baik dari pemerintah, Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Beberapa pelonggaran kebijakan tersebut memang berdampak positif pada nasabah perbankan.
Misalnya saja, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lewat implementasi POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19). Singkatnya, aturan ini bisa meringankan beban debitur yang usaha atau sumber penghasilannya terdampak virus corona.
Baca Juga: Terdampak Covid-19, BRI Syariah restrukturiasi kredit 5.298 debitur
Lalu ada pula stimulus dari BI lewat kebijakan quantitative aasing yang salah satunya melonggarkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan. Sekaligus beberapa pelonggaran di penghitungan rasio likuiditas hingga sistem pembayaran.
Nah, seluruh kebijakan ini diharapkan bisa menopang stabilitas ekonomi yang saat ini sedang terdisrupsi virus corona. Namun, menurut Pengamat Perbankan Paul Sutaryono sederet kebijakan yang diberikan oleh regulator masih bersifat keringanan kepada debitur.
Menurut kacamatanya, dalam situasi seperti ini tidak hanya debitur saja yang kesulitan. Perbankan pun dari sisi arus kas tentunya juga kewalahan. Sebab, mayoritas kredit di beberapa sektor terdampak pastinya mengalami penurunan kualitas dan peningkatan risiko.
Walhasil industri perbankan harus memupuk pencadangan untuk mengantisipasi menurunnya kemampuan membayar debitur. Tapi di sisi lain, pendapatan bunga bank menciut lantaran laju kredit lesu. Berkaca pada hal ini, Paul memandang pemerintah sejatinya harus memberikan keringanan kepada perbankan sebagai perusahaan.
Baca Juga: Pengamat: Merger Bank BJB dan Bank Banten jangan tergesa-gesa
Keringanan tersebut menurutnya bisa berupa penundaan atau pengurangan iuran wajib perbankan kepada OJK atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). "Bank juga harus dilindungi dari sisi likuiditas. Apalagi potensi risiko sistemik bagi bank papan atas," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (5/5).
Beberapa bankir yang dihubungi Kontan.co.id pun setuju saja bila iuran wajib perbankan kepada regulator diringankan. Ambil contoh Direktur Keuangan Bank Jatim Ferdian Timur Satyagraha yang menilai saat ini kebanyakan stimulus lebih difokuskan kepada nasabah. "Contohnya keringanan bunga, rescheduling, pengurangan angsuran," ujarnya, Selasa (5/5).
Di sisi lain, Ferdian menyebut bank harus lebih banyak mengeluarkan dana ke pencadangan untuk kredit yang tidak bisa dibayarkan akibat Covid-19. Ia pun setuju kalau iuran OJK tidak dibebankan dalam situasi seperti ini agar bank bisa fokus mengelola debitur dan arus kasnya.
Stimulus lain yang mungkin dibutuhkan bagi perbankan saat ini adalah tidak diwajibkannya pembentukan pencadangan. Sebab hal ini bisa mengganggu permodalan dan likuiditas perbankan bila kualitas kredit ternyata memburuk. "Bank saat ini tidak memperoleh pendapatan bunga, dalam rangka membantu nasabah. Artinya, tinggal posisi beban yang harus ditekan," terangnya.
Baca Juga: Hendak registrasi dan aktivasi Mandiri Online? Begini caranya
Sementara itu, Direktur Utama Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi mengatakan saat ini yang perlu menjadi fokus regulator adalah kondisi likuiditas. Sebab, menurut kacamatanya likuiditas di pasar uang sekarang relatif mengetat. "Menurut saya BI perlu memantau kondisi real di pasar secara rutin. Juga membuat regulasi apabila perlu supaya likuiditas normal," ungkapnya.
Nah, mengenai iuran sebagai pihak yang dibebankan tentu Haryono sepakat bila dikurangi apalagi di kondisi seperti sekarang. Namun, bak pisau bermata dua, pihak penerima iuran pun di tengah pandemi seperti sekarang harus bekerja lebih ekstra.
Adapun, menurut Wakil Direktur Utama Bank BNI Anggoro Eko Cahyo sejauh ini aturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan OJK sudah memadai bagi perbankan dalam menyikapi pandemi Covid-19 saat ini. Ia memandang, relaksasi kebijakan yang sudah dirilis cukup membantu perbankan terutama terkait likuiditas.
Baca Juga: BI: Harga komoditas ekspor Indonesia akan turun 14,2% di tahun ini
"Kami meyakini pemerintah dan OJK sudah pada jalur yang benar dalam mengambil kebijakan karena selalu berkoordinasi dengan pelaku industri keuangan/perbankan," tuturnya. Sementara mengenai iuran terutama kepada OJK, Anggoro menyerahkan sepenuhnya pertimbangan tersebut kepada pihak terkait.
Sebagai informasi, OJK memang memberlakukan kewajiban iuran untuk sektor jasa keuangan yang diawasi. Hal ini sejatinya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK. Aturan ini menyebut biaya pungutan tahunan perusahaan perbankan yakni 0,045% dari aset.
Pungutan biaya tahunan sebesar 0,045% aset atau paling sedikit Rp 10 juta tak hanya berlaku bagi perbankan. Pungutan tersebut juga berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa, asuransi umum, reasuransi, dana pensiun lembaga keuangan, dana pensiun pemberi kerja, perusahaan pembiayaan dan perusahaan modal ventura serta lembaga jasa keuangan lainnya. Pungutan tersebut juga merupakan amat dari Undang-Undang (UU) No.21 Tahun 2011 tentang OJK.
Baca Juga: Bank sentral Malaysia pangkas suku bunga 50 bps ke level 2%, terendah sejak 2009
Begitu pula untuk LPS, setiap bank umum juga diwajibkan membayar premi penjaminan LPS setiap periode. Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah belum lama ini juga sempat membuka opsi penundaan pungutan premi penjaminan perbankan sebagai upaya stimulus bagi industri perbankan.
"Ini jadi salah satu opsi bagi LPS. Kami masih melakukan penilaian, tergantung situasi nanti. Tapi penundaan pembayaran premi dimungkinkan,” kata Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah dalam rapat kerja virtual dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis (9/4) lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News