Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebulan pasca pencabutan izin usaha PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life), Tim Likuidasi tak kunjung terbentuk. Pemegang polis pun harus gigit jari menunggu penyelesaian dana yang diharapkan kembali.
Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mensyaratkan segala proses pembubaran perusahaan dan pembentukan tim likuidasi maksimal 30 hari setelah pencabutan izin usaha. Itu berarti maksimal sudah dilakukan pada 5 Januari 2023.
Alih-alih mendapatkan hasil terbaik, pemegang polis dipertontonkan mangkirnya pemegang saham pengendali dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang berlangsung pada 26 Desember 2022 dan 9 Januari 2023.
“Kami cukup surprise karena pemegang saham minoritas yang di rapat pertama (26 Desember 2022) hadir, hari ini tidak hadir. Awalnya kami harapkan mereka dapat hadir,” ujar Presiden Direktur Adi Yulistanto dalam konferensi pers, Senin (9/1).
Di sisi lain, pemegang saham pengendali justru telah membentuk tim likuidasi yang diketuai oleh Harvardy M. Iqbal dan pada RUPSLB di 9 Januari 2023 memaksa masuk untuk mewakili pemegang saham pengendali. Direksi pun tidak memperkenankan mereka mewakili pemegang saham pengendali.
Baca Juga: Penuhi Undangan OJK, Ini yang Dilakukan Tim Likuidasi Wanaartha Life
Adi beralasan belum bisa menerima kedatangan tim likuidasi karena belum ada keputusan dan arahan dari OJK. Sementara, tim likuidasi juga tidak memberikan atau menunjukkan adanya surat kuasa maupun dokumen lainnya yang memenuhi syarat.
“Kalau OJK memutuskan bahwa Tim Likuidasi tersebut dapat diterima atau eksis, maka kami akan buat pintu selebar-lebarnya bagi tim likuidasi untuk dapat melaksanakan tugasnya. kami hanya menerima keputusan OJK,” jelasnya.
Adi berpendapat bahwa saat ini OJK juga cukup berhati-hati terhadap tim likuidasi tersebut. Mengingat, pada pekan lalu OJK telah memanggil tim likuidasi untuk dimintai klarifikasi.
Di sisi lain, Harvardy mengklaim bahwa dirinya memiliki dokumen yang bisa mewakili pemegang saham pengendali untuk menghadiri RUPSLB. Menurutnya, keabsahan dirinya sebagai tim likuidasi bisa dibahas dalam rapat tersebut namun tak diperbolehkan.
Ia juga berpendapat bahwa dengan sudah terbentuknya Tim Likuidasi ini, direksi sudah tidak memiliki kewenangan untuk mengurus perusahaan. Ditambah, agenda RUPSLB sama dengan rapat sirkuler yang diklaim sudah dilakukan pada Desember lalu.
“Untuk apa lagi ada RUPSLB dengan agenda yang sama? kalaupun ada perselisihan antara pemegang saham dengan direksi, tidak dilimpahkan kepada kami tim likuidasi,” jelas Harvardy.
Baca Juga: Ini Alasan Manajemen Wanaartha Life Menolak Kedatangan Tim Likuidasi
Sementara itu, OJK juga tak segera menanggapi terkait keadaan yang menunjukkan seperti ada ‘dualisme’ di Wanaartha Life. Pekan lalu, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono hanya bilang pemegang saham telah menyerahkan hasil RUPS sirkuler pada 30 Desember lalu.
Adapun, hasil RUPS Sirkuler tersebut berisi terkait pembubaran perusahaan akibat izin usahanya telah dicabut, sekaligus pembentukan tim likuidator yang bakal melakukan likuidasi perusahaan.
“Kami sedang mereview laporan tersebut dan pembubaran dari RUPS tersebut ya secara hukum seperti apa. Nanti kami akan tindak lanjuti,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (2/1).
Aset Wanaartha Life Tersisa Rp 2,9 Triliun
Meski pembentukan tim likuidasi tak berjalan mulus, proses pencatatan neraca penutupan perusahaan pun telah dilakukan oleh manajemen Wanaartha life.
Direktur Operasional Ari Prihadi menyebut, dalam neraca penutupan yang unaudited tercatat liabilitas perusahaan sebesar Rp 15,9 triliun. Ia bilang angka tersebut tak banyak berubah dari beberapa informasi sebelumnya mengingat tak ada pemegang polis baru dalam beberapa tahun terakhir.
Di sisi lain, ekuitas perusahaan berada di posisi negatif Rp 13 triliun. Sehingga, selisih dari ekuitas dan liabilitas perusahaan itu menjadi aset yang dimiliki perusahaan.
“Selisihnya itu aset, berarti sekitar Rp 2,9 triliun,” ujar Ari.
Ari menegaskan bahwa aset tersebut tidak termasuk portofolio investasi yang disita oleh Kejaksaan Agung senilai Rp 2,4 triliun dari total yang disita Rp 2,7 triliun. Oleh karenanya, aset senilai Rp 300 miliar yang belum dikembalikan tersebut masuk dalam neraca penutupan.
Baca Juga: Fungsi Penyidikan OJK Diperkuat dalam UU PPSK
Ari merinci total aset yang tercatat sekitar Rp 2,9 triliun itu berasal dari beberapa aset, antara lain pajak tangguhan, gedung kantor, kendaraan dinas, hingga uang jaminan perusahaan asuransi.
“Aset kantor dan mobil Rp 100 miliar, Rp 300 miliar masih di pengadilan, uang jaminan yang masih di OJK itu Rp 170 miliar,” jelas Ari.
Adi menambahkan bahwa hutang premi yang jatuh tempo per Desember 2022 itu tercatat hampir Rp 3 triliun. Angka tersebut mengalami kenaikan karena di 2021 masih tercatat sekitar Rp 2,3 triliun.
“Itu yang nyata harus dibayarkan ke pemegang polis karena sudah jatuh tempo,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News