kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Transaksi uang digital meningkat terus, pendapatan non bunga bank tergerus


Kamis, 21 November 2019 / 09:35 WIB
Transaksi uang digital meningkat terus, pendapatan non bunga bank tergerus


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan gaya hidup masyarakat dari penggunaan uang tunai ke uang elektronik memberikan dampak positif bagi bisnis uang elektronik itu sendiri.

Tak tanggung-tanggung kini bisnis yang dulunya dijalani oleh usaha rintisan (start-up) ini mulai mampu menyaingi perbankan yang memiliki modal dan pengalaman lebih mumpuni.

Baca Juga: Potensi besar, LinkAjA mengincar transaksi dari pembayaran transportasi

Tengok saja data yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai regulator yang mengatur dan mengawasi uang elektronik. Berdasarkan data Bank Indonesia digitalisasi sistem pembayaran semakin teramplifikasi melalui perkembangan ekspansi instrumen uang elektronik berbasis server yang hadir dalam aplikasi ponsel.

Uang elektronik ini ialah OVO, GoPay, LinkAja, dan DANA. Hingga Juni 2019, BI mencatat uang elektronik berbasis server ini menyumbang hingga 69,5% dari jumlah instrument uang elektronik yang beredar.

Selain itu, Bank Indonesia mencatat pasar uang elektronik sudah dikuasai oleh non-bank. Kendati demikian operaisonal penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) uang elektronik bank tidak terlepas dari peran bank baik dalam proses isi ulang saldo, penempatan dana mengendap, hingga setelmen.

Masih di periode yang sama, BI mencatatkan terdapat 30,32 juta uang elektronik berbasiskan kartu. Jenis uang digital ini dikelola oleh perbankan. Sedangkan terdapat 137,22 juta akun uang elektronik berbasis server yang hanya diselenggarakan oleh fintech payment.

Baca Juga: Setelah GoJek, LinkAja bakal bisa bayar transaksi Grab

Sedangkan terdapat 30,02 juta akun berbasis kartu dan uang elektronik berbasis server yang dijalankan oleh perbankan. Sehingga secara total terdapat 198 juta kartu uang elektronik hingga pertengahan 2019.

Bahkan BI juga menampilkan daftar pemimpin industri ini. Produk milik PT Visionet Internasional atau OVO memimpin dengan pangsa pasar hingga 37%. Pesaing terberatnya memang datang dari aplikasi Go-Pay milik perusahaan transportasi online GoJek dengan pangsa pasar sebesar 17%.

Lalu DANA memiliki pangsa pasar 10%. Bahkan salah satu pemain baru, LinkAja menduduki peringkat delapan dengan pangsa pasar sebesar 3%.

Yang juga mencuri perhatian, data BI juga menunjukkan industri perbankan kini sudah kalah telak dari industri non bank sebagai penyelenggara uang elektronik. Tercatat pemain dari industri non bank menguasai 69%, sisanya baru dikuasai perbankan.

Baca Juga: Ancaman siber mengintai transaksi uang elektronik

Dari sepuluh besar pemain uang elektronik, ada tiga bank yakni Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Rakyat Indonesia dengan penguasaan pasar 23% dari nilai transaksi.

Memang guna menggenjot transaksi, Ovo menggandeng perusahaan lain yang cukup disegani di masing-masing bidang. Misalnya untuk e-commerce, Ovo menjadi dompet digital perusahaan unicorn Tokopedia. Untuk transportasi online Ovo juga bekerja sama dengan Grab yang juga menjadi decacorn di Kawasan Asia Tenggara.

Direktur Ovo Harianto Gunawan menyebutkan, tahun lalu, pengguna Ovo meningkat 400% dalam setahun. Sementara volume transaksi Ovo tumbuh 75 kali lipat di tahun 2017, atau sekitar satu miliar transaksi.

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk mengakui kehadiran uang elektronik berbasis server mulai mengerus bisnis perbankan. Walau masih sangat kecil, namun sudah mulai terasa.

Baca Juga: Mulai 1 Desember 2019 naik MRT Jakarta bisa pakai QR Code

Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunardi menyatakan dengan adanya persaingan langsung dengan pemain uang elektronik berbasis server ini maka pendapatan non bunga atau fee based income bank terganggu.

“Apalagai fintech itu sudah bisa digunakan untuk payment. Misalnya bayar listrik dan pulsa. Dulu sebelum ada fintech ini, semuanya dilakukan lewat bank, sekarang mulai terbagi. Belum terlalu berdampak, masih di bawah 5% untuk bisnis pembayaran bank Mandiri untuk beli listrik atau pulsa ya,” jelas Hery.

Kendati demikian, bank pelat merah ini masih mampu meningkatkan transaksi digital. Berdasarkan laporan kinerja per September 2019, transaksi online Mandiri tumbuh 113% yoy dari Rp 242,9 triliun menjadi Rp 517,9 triliun.

Lewat transaksi ini, bank berlogo pita emas ini masih mampu meraup pendapatan komisi senilai Rp 443,4 miliar pada Sembilan bulan pertama 2019. Nilai ini tumbuh 156% yoy dibandingkan periode yang sama sebelumnya sebanyak Rp 173,5 miliar.

Baca Juga: BRI catat 62 juta transaksi mesin EDC hingga kuartal III 2019

Meski mulai ditantang oleh pemain fintech payment untuk transaksi pembayaran pulsa dan kawan-kawan, Hery bilang Bank Mandiri tidak akan melepaskan transaksi ini kepada para pelaku fintech payment.

Lantaran hal ini dikembalikan kepada nasabah. Ia percaya tidak semua nasabah perbankan menggunakan uang elektronik berbasis kartu masih ada yang menggunakan bank.

“Perkembangan fintech ini tidak bisa kita musuhi tapi kita jalin kerja sama. Misalnya kita kerja sama dengan PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau link aja, nanti juga bagi-bagi fee juga. Selain itu, Mandiri lewat anak usaha modal ventura PT Mandiri Capital Indonesia akan fokus membesarkan LinkAja,” tutur Hery.

Memang BI telah membuat kebijakan agar perbankan tetap eksis walaupun fintech menyerbu dari segala arah. Apalagi regulator sudah memiliki visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025.

Baca Juga: Genjot pertumbuhan ekonomi, pemerintah terapkan survei inklusi keuangan

Lewat visi ini, BI ini mendorong kerja sama antara perbankan dengan fintech. Hal ini bertujuan agar ekonomi digital bisa mendukung pertumbuhan perekonomian nasional.

Direktur Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Ida Nuryanti menyatakan bentuk kerja sama yang tertuang dalam visi SPI ini adalah open banking. Hal ini akan diwujudkan lewat interlink antara fintech dengan perbankan guna menghindari risiko shadow banking.

Institusi keuangan terbesar masih ada di perbankan yang sangat tinggi pengawasannya. Sehingga fintech bisa mendekat dan berkembang, sebab kita tidak bisa menahan laju teknologi. Namun pengelolaan dana fintech harus dikelola oleh perbankan,” ujar Ida.

Ia melanjutkan fintech tidak bisa melayani masyarakat sendiri. Oleh sebab itu, BI melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik telah mengatur interlink ini. Dalam belied ini Ida menyebut 100% dana mengambang atau floating fund masyarakat yang berada di fintech diatur penempatannya.

Baca Juga: Ternyata, orang Indonesia lebih gemar bertransaksi lewat bank ketimbang yang lain

“Sebanyak 30% harus di taruh di bank Bank BUKU IV. Sebab floating fund ini harus siap ditarik kapan pun oleh masyarakat ketika mereka membutuhkannya. Sisanya 70%, apakah boleh digunakan untuk operasional? Tentu saja tidak. Mereka harus menempatkan di surat berharga negara atau surat berharga yang diterbitkan oleh bank Indonesia,” jelas Ida.

Artinya 100% floating fund dari kegiatan usaha uang elektronik harus masuk ke sistem bank atau interlink. Ida menyebut, fintech saat ini bisa menyediakan teknologi. Tetapi bagaimana teknologi tersebut digunakan katakanlah untuk transfer dana, maka proses settlement harus menggunakan bank.

“Mereka tidak boleh sendiri. Itulah bentuk interlink, di mana fintech tidak bisa lepas sendirian melakukan kegiatan intermediasi seperti bank mengelola uang. Ini yang kita namakan interlink,” tutur Ida.

Baca Juga: Berkat ponsel, pengguna uang elektronik naik empat kali lipat dari 2016

Ia menekankan perbankan seperti saat ini bentuk usahanya konvensional tapi teknologinya bisa kerja sama dengan fintech. Tetapi untuk pengelolaan dana harus kembali ke bank. Tidak boleh dana tersebut di masukan ke investasi yang tidak prudent, makanya harus ke SBN.

Apalagi Ida mengakui, saat ini penerbit uang elektronik lebih banyak dilakukan oleh institusi keuangan non bank.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×