Reporter: Ferry Saputra | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) membeberkan sejumlah dampak yang dirasakan asuransi umum seusai berlakunya ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20/POJK.05/2023 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Kredit atau Pembiayaan Syariah, serta Produk Suretyship atau Suretyship Syariah (POJK 20/2023).
Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan dampak yang dirasakan dari adanya ketentuan dalam POJK 20/2023, di antaranya perubahan struktur penjaminan yang memerlukan penyesuaian model bisnis, proses underwriting, serta pola kerja sama antara perusahaan asuransi dan lembaga pembiayaan.
"Bagi perusahaan yang memenuhi batas ekuitas, pemasaran dapat dilakukan secara penuh. Bagi perusahaan yang belum memenuhi batasan, tentu perlu melakukan penataan portofolio, kolaborasi, atau sinergi dengan pelaku lain yang memiliki kapasitas permodalan sesuai ketentuan," ungkapnya kepada Kontan, Sabtu (16/8/2025).
Baca Juga: AAUI Optimistis Prospek Asuransi Logistik Tetap Positif pada Sisa 2025
Secara umum, Budi menilai kebijakan POJK 20/2023 diharapkan dapat mendorong industri untuk lebih prudent dalam pengelolaan risiko dan memperkuat permodalan. Dia menuturkan setelah berlakunya POJK Nomor 20 Tahun 2023 yang mengatur batasan pemasaran produk asuransi berdasarkan minimum ekuitas dan persyaratan lainnya, industri asuransi umum langsung melakukan penyesuaian strategis, khususnya pada lini usaha asuransi kredit dan suretyship.
Lebih lanjut, Budi tak memungkiri masih terdapat tantangan bagi asuransi umum dalam mengimplementasikan POJK 20/2023, seperti kebutuhan adaptasi cepat terhadap ketentuan co-sharing, penyesuaian sistem dan prosedur underwriting, serta komunikasi intensif dengan mitra bisnis.
Dia juga bilang negosiasi dengan sektor perbankan dan lembaga pembiayaan memerlukan waktu. Hal itu karena kedua pihak perlu menyamakan pemahaman atas pembagian risiko, penyesuaian margin pembiayaan, dan kesesuaian dengan regulasi baru.
Khusus untuk lini suretyship, AAUI menilai perlunya diberikan ruang relaksasi dalam penerapan aturan, agar ketersediaan kapasitas penjaminan di industri tidak berkurang secara drastis. Budi mengatakan hal itu menjadi penting untuk memastikan proyek-proyek pemerintah, terutama yang berskala strategis nasional, tidak terhambat akibat terbatasnya suplai penjaminan dari perusahaan di industri asuransi.
Dalam mengantisipasi tantangan tersebut, AAUI mengimbau perusahaan asuransi umum untuk menguatkan strategi manajemen risiko, memperkuat permodalan sesuai ketentuan, meningkatkan kompetensi sumber daya manusia di bidang underwriting kredit dan suretyship, serta memperluas bentuk kolaborasi yang saling menguntungkan dengan mitra perbankan, lembaga keuangan, dan instansi pemerintah.
"AAUI juga mendorong agar seluruh perusahaan memanfaatkan regulasi tersebut sebagai momentum untuk memperkuat fundamental usaha dan memastikan keberlanjutan perlindungan bagi nasabah, serta mendukung stabilitas sistem keuangan," kata Budi.
Baca Juga: Tak Terhambat Pasarkan Asuransi Kredit, Simak Strategi Tugu Insurance
Sebagai informasi, tertuang berbagai ketentuan bagi perusahaan asuransi dalam POJK Nomor 20 Tahun 2023, seperti ekuitas minimum perusahaan asuransi umum konvensional dalam memasarkan produk asuransi kredit dan suretyship diatur menjadi Rp 250 miliar, kemudian diperlukan ekuitas minimum sebesar Rp 375 miliar pada Januari 2027, lalu Rp 1 triliun pada Januari 2029.
Sementara itu, perusahaan asuransi umum syariah dalam memasarkan produk asuransi kredit dan suretyship memerlukan ekuitas minimum Rp 100 miliar, kemudian Rp 150 miliar pada Januari 2027, lalu Rp 500 miliar pada 2029.
Selain ekuitas minimum, perusahaan asuransi umum konvensional dan syariah yang memasarkan produk asuransi kredit dan suretyship juga harus memenuhi sejumlah ketentuan lain, meliputi tingkat kesehatan paling rendah peringkat komposit 2, lalu tingkat solvablitas minimum dengan Risk Based Capital (RBC) minimal 120%, dan rasio kecukupan investasi minimum 100%.
Perusahaan asuransi juga harus memenuhi persyaratan pemasaran dengan rasio likuiditas sebesar 150%, memiliki sistem informasi host to host dengan sistem kreditur, dan tenaga ahli asuransi kredit.
Poin lainnya dalam peraturan tersebut adalah ketentuan pembagian risiko (co-sharing) antara perusahaan asuransi yang wajib menanggung 75% dan pihak pemberi kredit wajib menanggung 25%. Adapun ketentuan dalam POJK Nomor 20 Tahun 2023 tersebut berlaku sejak 13 Desember 2024.
Selanjutnya: 80 Tahun Indonesia Merdeka, Industri Perbankan Perlu Jeli Lihat Peluang
Menarik Dibaca: Cara Buka Blokir Facebook dengan Bantuan Pusat Dukungan,Cepat & Mudah Dilakukan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News