Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Industri asuransi umum berharap rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menaikkan batas retensi minimal yang ditahan oleh pelaku usaha tidak langsung terlalu tinggi. Pasalnya hal tersebut bisa langsung berdampak pada bisnis mereka.
Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Yasril Y Rasyid mengatakan, kenaikan retensi sebaiknya dilakukan bertahap dari aturan saat ini yang disyaratkan minimal sebesar 1% dari modal. "Kalau terlalu besar jadi semakin sedikit proyek yang bisa diakses perusahaan," katanya
Dengan aturan yang ada saat ini, perusahaan asuransi yang memiliki modal Rp 100 miliar wajib menahan risiko minimal sebesar Rp 1 miliar dari total modal perusahaan. Bila retensi dinaikan menjadi 2%, maka risiko yang harus ditahan menjadi Rp 2 miliar.
Kalau harus menahan risiko sebesar itu, maka perusahaan akan lebih sulit untuk mengejar jumlah proyek skala besar. Makanya dibutuhkan jalan tengah soal besaran retensi sendiri.
Regulator pun mengisyaratkan angka 1,5% dari ekuitas menjadi batas minimal retensi sendiri yang akan dicantumkan dalam POJK yang ditargetkan dirilis pada bulan depan. Aturan baru ini sendiri direncanakan mulai berlaku di awal 2016.
Namun ia mengakui, kenaikan batas minimal retensi dari pelaku usaha sendiri lamban laun makin kuat. Hal ini sejalan dengan kondisi permodalan yang juga makin meningkat.
Sementara perusahaan asuransi umum PT Asuransi Central Asia alias ACA menilai retensi dari perusahaan asuransi sewajarnya memang meningkat seiring perkembangan bisnis.
Debbie Wijaya, Direktur ACA menilai perkembangan bisnis dari pelaku usaha asuransi secara logika akan mendorong kebutuhan modal yang lebih besar. Nah, dengan modal yang makin besar ini otomatis perusahaan pun bisa menahan retensi yang lebih besar lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News