Reporter: Nadya Zahira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah merancang produk asuransi kredit untuk industri fintech peer to peer (P2P) lending.
Namun, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memperkirakan, produk asuransi kredit ini akan sepi peminat.
Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar mengatakan, asuransi dalam fintech lending sebaiknya bukan jangan menjadi kewajiban tetapi hanya pilihan bagi lender. Dengan begitu, lender mempunyai hak untuk memilih ingin menggunakan asuransi atas risiko dana yang diberikan atau tidak.
Entjik menilai asuransi khusus untuk industri fintech P2P lending ini akan sepi peminat karena preminya diprediksi cukup mahal sehingga dapat memberikan kerugian bagi lender.
“Tentunya lender akan berhitung atas cost dan profit yang diperoleh dari pendanaan tersebut. Jika preminya tinggi maka lender tentunya tidak mau, apalagi jika premi yang diberikan itu melebihi bunga yang diperoleh dari pendanaan, karena lender akan rugi,” kata Entjik saat dihubungi Kontan, Rabu (19/2).
Baca Juga: OJK Melarang Fintech Lending Mewakili Lender untuk Lakukan Pendanaan, Ini Tujuannya
Selain itu, Entjik bilang, premi asuransi yang ditawarkan saat ini mencapai 30%, angka itu dinilai terlalu tinggi dibandingkan manfaat ekonomi bunga yang diperoleh lender, yang mana hanya berkisar 16%.
“Nanti siapa yang mau bayar premi sebesar itu? Masa lender atau pemberi dana harus nombok?” ujarnya.
Lebih jauh lagi, Entjik menuturkan, salah satu kekhawatiran utama AFPI jika asuransi untuk fintech P2P lending diwajibkan yaitu, ada potensi terjadinya moral hazard.
“Tantangan utama adalah moral hazard, akan banyak borrower atau peminjan yang sengaja tidak mau bayar karena mengetahui bahwa kreditnya dicover asuransi. Dan yang saya takuti, hal ini dapat berujung pada peningkatan gagal bayar secara massal, yang pada akhirnya bisa membuat perusahaan asuransi bangkrut,” ujar Entjik.
Ia menerangkan bahwa sejumlah perusahaan fintech P2P lending di negara maju saja yang sudah Insurance minded seperti Inggris, mereka tidak menjalankan asuransi kredit untuk lender. Sebab, secara hitung-hitungan bisnis tidak masuk, dan premi asuransinya sangat mahal.
Baca Juga: OJK Lakukan Upaya Ini untuk Capai Porsi Pembiayaan Produktif Fintech Lending 40%-50%
Enjtik menilai asuransi kredit untuk industri fintech P2P lending tidak bisa diterapkan, karena hitung-hitungan secara commercial business tidak masuk dan terdapat resiko krediy macet yang sangat besar akibat moral hazard.
Meski begitu, dia menuturkan, AFPI tetap membuka diskusi dengan OJK untuk mencari solusi dan jalan keluar terbaik yang bisa menguntungkan semua pihak.
Selanjutnya: Prabowo Lantik 961 Kepala Daerah di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (20/2)
Menarik Dibaca: Jelang Ramadan, Pacific Palace Hotel Batam Hadirkan Paket Berbuka Puasa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News