Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Perbankan terus memupuk likuiditas valuta asing (valas), dengan menerbitkan surat utang (global bond) dan mencari pinjaman ke luar negeri. Selain untuk penyaluran kredit, bank mengumpulkan dollar Amerika Serikat (AS), mengantisipasi kemungkinan terburuk krisis Eropa. Belajar dari masa lalu, bank kerap kekeringan valas, ketika badai krisis semakin menghebat.
Bank Mandiri dan Bank BNI termasuk aktif melakukan antisipasi. Bank Mandiri akan menerima pinjaman US$ 300 juta dari tiga bank asing. Penandatanganan berlangsung bulan ini. Sedangkan BNI menerbitkan global bond akhir Mei. Nilainya US$ 500 juta dengan tenor 5 tahun.
Royke Tumilaar, Managing Director Tresury, Financial Institution, dan Special Asset Management Bank Mandiri mengatakan, fasilitas kredit ini berjangka waktu 3 tahun - 5 tahun. Pinjaman tersebut untuk menjaga likuiditas valas yang saat ini lebih dari US$ 1 miliar. "Ini sebagai cadangan, kebetulan ada pinjaman, kami ambil saja," kata Royke, Senin (21/5).
Berdasarkan laporan keuangan Mandiri, sepanjang 2011, perseroan memperoleh pinjaman valas Rp 4,79 triliun atau tumbuh 7,3% dari sebelumnya Rp 3,90 triliun. Antara lain dari Deutsche Bank AG sebesar Rp 2,72 triliun, Standard Chartered Bank di Jakarta Rp 906 miliar, Asia Development Bank senilai Rp 943 miliar dan dari Agence Francaise de Development sebesar Rp 221 miliar.
Adi Setianto, Direktur Treasury dan Financial Institution BNI menjelaskan, perseroan lebih memilih global bond karena Indonesia menyandang status investment grade. Status ini efektif mengundang investor. Selain itu, ongkos menerbitkan surat utang lebih murah.
Hasil penerbitan global bond mengalir ke ekspansi kredit valas. Di akhir 2011, kredit valas BNI mencapai 16% dari total kredit Rp 163,53 triliun. Komposisi ini naik dari 2010 yang hanya 14%. Hal ini menyebabkan rasio intermediasi atau loan to deposit ratio (LDR) valas meningkat, dari 63% menjadi 88%.
Menurut laporan keuangan BNI, sepanjang 2011 perseroan menerima pinjaman valas Rp 8,72 triliun atau naik 59% (year on year/yoy). Pinjaman terdiri dari bankers acceptance Rp 4,47 triliun, bilateral loans Rp 2,72 triliun, pinjaman penerusan Rp 87 miliar dan lainnya Rp 1,26 triliun.
Ongkos lebih murah
Royke menambahkan, bunga kredit valas dari bank di luar negeri terhitung murah. Misalnya, pinjaman dari Deutsche Bank AG, Singapura, hanya berbunga sebesar London Interbank Offered Rate (LIBOR) 6 bulan plus margin tertentu per tahun. Sedangkan, Standard Chartered Bank, Jakarta mengacu pada LIBOR 3 bulan plus margin. "Lebih murah, karena kondisi inflasinya rendah," tambah Royke, tanpa menyebutkan margin tambahan itu. Saat ini, bunga LIBOR 6 bulan hanya 0,73%.
Sependapat, Adi mengatakan, bunga bilateral loan dari luar negeri terbilang rendah. BNI memiliki pinjaman dari Wells Fargo Bank NA - San Fracisco US$ 50 juta. Bunganya LIBOR plus 0,95% per tahun. Ia menjelaskan, ketika mencari kredit valas, bank selalu mengukur kebutuhan kredit valas sepanjang setahun ke depan. Jika permintaannya tinggi, perseroan gencar mencari valas dari nasabah, pinjaman luar negeri atau global bond.
Berdasarkan data BI Maret 2012, kredit valas bank BUMN tumbuh 18% menjadi Rp 90 triliun (yoy). Sedangkan, pinjaman valas ke bank lain turun 40% menjadi Rp 209 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News