Reporter: Nurul Kolbi | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Bank Mutiara sudah menyiapkan langkah hukum untuk menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan nasabah Antaboga. Pengacara bank milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini menegaskan, tidak akan mengajukan peninjauan kembali (PK), melainkan melakukan perlawanan atau bantahan terhadap proses eksekusi.
Mahendradatta, kuasa hukum Bank Mutiara, menjelaskan pihaknya mengesampingkan opsi PK karena upaya hukum luar biasa ini tidak dapat menghalangi pelaksanaan putusan MA. Artinya, bank tetap membayar. "Kami memilih melakukan bantahan atau perlawanan karena bank tidak perlu membayar hingga pengadilan memutuskan bantahan kami benar atau salah," katanya, Senin (5/11).
Menurut dia, perlawanan ini hanya akan terwujud apabila MA berencana mengeksekusi putusannya. "Selama MA tidak memulai, ya, tidak ada proses bantahan dan tidak ada proses pengembalian dana nasabah," katanya. Untuk mengeksekusi putusan, MA biasanya akan menunggu permohonan dari nasabah.
Mahendradatta menerangkan, selain Bank Mutiara, upaya perlawanan hukum seperti ini juga bisa dilakukan LPS selaku pemilik bank. Namun, kalau LPS tidak bersedia, bank siap maju sendiri. "Apabila LPS tidak mau melawan, ya, dia selaku pemilik nantinya harus ikut menanggung kewajiban membayar. Masalahnya, kalau LPS membayar, dia dapat dianggap melanggar ketentuannya sendiri," katanya.
LPS akan menabrak Undang Undang (UU) Nomor 24 tahun 2004 tentang penjaminan. Menurut beleid itu, LPS hanya bisa membayar nasabah yang banknya dilikuidasi, dengan syarat nilai simpanan di bawah Rp 2 miliar dan tidak menerima bunga di atas bunga penjaminan. Atau, menyuntikkan dana ke bank bermasalah (bailout). "Antaboga bukanlah produk bank, dan tidak tercatat di neraca bank. Apa logikanya LPS membayar mereka," katanya lagi.
Perlawanan ini juga tidak ada sangkut pautnya dengan proses politik di DPR. Jadi, sekalipun DPR berkali-kali memerintahkan bank menjalankan putusan MA, bank tidak serta merta harus menaatinya. "Kita kan negara hukum, apa yang dimulai di ranah hukum harus diakhiri di ranah hukum. Eksekusi putusan dan bantahan adalah wilayah hukum, bukan urusan politik," katanya.
Mahendradatta juga mempersilakan para nasabah mempailitkan bank. Tapi salurannya tidak akan ketemu, "Sebab yang berhak menutup bank adalah Bank Indonesia," katanya.
Lelang aset Robert
Achsanul Qosasih, anggota Tim Pengawas (Timwas) penyelesaian kasus Bank Century, menegaskan Bank Mutiara harus mematuhi rekomendasri Rapim DPR, yakni menyiapkan skema pembayaran dan melaksanakannya. "Kita akan merumuskan skema pembayaran yang ideal agar tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. Paska reses, kami akan bertemu pemerintah, LPS dan Bank Mutiara untuk bahas ini," katanya.
Persoalan baru yang dikhawatirkan politisi Partai Demokrat itu adalah munculnya tuntutan dari korban penutupan bank atau produk investasi lainnya. "Mereka yang belum menerima pembayaran bisa saja menuntut untuk diperlakukan serupa. Potensi nilai kerugian mencapai Rp 23 triliun, siapa yang mau membayar?" katanya.
Maka itu, agar efek domino ini tidak menjadi kenyataan, Achasnul mengusulkan agar pengembalian dana nasabah Antaboga harus menggunakan hasil penjualan aset pemilik lama. "Jadi, kalau ada korban bank atau produk investasi lain yang tiba-tiba menuntut diperlakukan hal yang sama, kita bisa meminta yang bersangkutan untuk menuntut pemiliknya atau mengejar asetnya," katanya.
Saat ini, polisi sudah menguasai aset milik Robert Tantular, pemilik lama, senilai lebih dari Rp 300 miliar. Aset itu bisa dilelang dan hasilnya untuk membayar nasabah."Kalau belum ada pembeli, kami mengusulkan pemerintah memborong aset tersebut," katanya.
Ide pembelian ini muncul karena Kementerian Keuangan sudah menegaskan tidak mau meminjamkan dana APBN untuk menyelesaikan kewajiban Bank Mutiara.
Zealus Siput, Jurubicara nasabah, menilai Bank Mutiara hanya ingin mengulur-ngulur waktu dan mencari-cari alasan untuk membangkang dari keputusan MA dan DPR. "Semua argumentasi mereka (Bank Mutiara) sudah dikemukakan di pengadilan dan terbukti kalah. Jadi tak ada gunanya lagi dan juga tak ada yang baru," katanya.
Argumentasi basi itu misalnya apakah Antaboga bukan produk bank, tidak pernah masuk dalam neraca bank, hingga imbal hasil produk Antaboga yang tidak wajar atau di atas bunga penjaminan. "Kita negara hukum, sebaiknya mereka patuhi itu. Putusan MA sudah inkrahct, jadi tak perlu lagi mencari-cari celahnya," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News