kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom: Ketentuan rasio pembiayaan UMKM sulit dipenuhi perbankan


Kamis, 09 September 2021 / 16:45 WIB
Ekonom: Ketentuan rasio pembiayaan UMKM sulit dipenuhi perbankan
ILUSTRASI. Masalah terbesar bank untuk memenuhi aturan PBI RPIM adalah faktor ekspertise atau pengalaman dalam mengucurkan kredit ke UMKM. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

Betul, lanjut Eko, dalam PBI RPIM memang ada beberapa opsi yang ditawarkan BI kepada bank untuk meningkatkan penyaluran kreditnya ke segmen UMKM.

Semisal bagi bank-bank yang tidak terbiasa menyalurkan kreditnya atau masuk ke segmen UMKM secara langsung, mereka bisa melakukan channeling dengan mitra lembaga jasa keuangan lainnya yang nonbank. Di antaranya, koperasi atau fintech peer to peer (P2P) lending. 

Namun, risiko dari skema channeling itu tetap ada. Yang memberatkan bagi bank adalah monitoring cost atau biaya penyaluran kreditnya. Sebab, bank juga harus punya unit yang besar, semisal, kantor cabang untuk bisa menarik debitur UMKM lewat channeling. 

Yang menjadi persoalan, pendekatan bank ke debitur UMKM berbeda dengan debitur korporasi. Apalagi, di era sekarang yang serba digital. Hampir semua bank ingin menekan biaya operasionalnya lewat pengembangan layanan digital dengan harapan meraih efisiensi. 

Baca Juga: BI terbitkan aturan RPMI, begini komentar bankir

Jika berkaca pada pengalaman dan praktik bank-bank besar yang mampu menembus segmen kredit UMKM, mereka pun tidak hanya sekadar menyalurkan pembiayaan.

Lebih dari itu, bank tersebut juga melakukan pembinaan ke UMKM agar debitur bisa berkembang. Nah, ketimbang repot mengurusi pembinaan UMKM, bank lebih memilih masuk ke segmen kredit konsumsi atau korporasi.

Jadi, karena adanya faktor tersebut, meskipun berisiko, bukan mustahil bank akan mengambil opsi memanfaatkan skema channeling untuk memenuhi ketentuan PBI.

"Cuma, hal tersebut bisa dijadikan salah satu alasan oleh bank untuk tidak memiliki kesiapan dalam menyalurkan pembiayaan langsung ke segmen UMKM," imbuh Eko. 

Artinya, Eko melanjutkan, demi memenuhi ketentuan BI, bank akan memilih menyalurkan kreditnya ke lembaga jasa keuangan nonbank yang memang telah memiliki ekosistem UMKM. Hal ini dibandingkan menyalurkan kreditnya langsung ke sektor UMKM. "Pada akhirnya kebijakan BI ini bakal menjadi tidak efektif," ungkap Eko.

Baca Juga: Pengamat sebut BI tak perlu atur rasio pembiayaan UMKM perbankan

Pendapat senada diungkapkan Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios). Dia berpendapat, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi perbankan dalam memenuhi ketentuan PBI RPIM. Di antaranya, terkait pengalaman bank dalam menyalurkan kredit UMKM. Hal ini, terutama bagi bank yang fokus bisnisnya ke segmen korporasi dan konsumsi. 

Kendati tersedia skema channeling pembiayaan UMKM, bank yang core business-nya non UMKM, masih akan kesulitan mendapatkan mitra. Kalaupun ada, semisal koperasi, juga tidak menjamin penyaluran kredit bank ke UMKM akan meningkat. Sebab, tidak semua koperasi punya kredibelitas dalam penyaluran kredit ke UMKM.

Selain itu, banyak koperasi yang ketika diberikan channeling pembiayaan UMKM dalam jumlah yang besar, justru operasionalnya bermasalah.

Sementara itu, jika bank harus channeling dengan fintech, mitranya tersebut harus yang terdaftar dan berizin di OJK. Yang lebih penting, fintech yang menjadi channeling bank, telah terbukti penyaluran pembiayannya ke UMKM memang tinggi.




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×