Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Efek perang dagang mulai berimbas pada melemahnya ekonomi secara global, tak terkecuali Indonesia. Perbankan, sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi pun mulai mencermati adanya potensi peningkatan rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) di semester II 2019.
Salah satu contoh yang tengah dicermati adalah masalah kemampuan likuiditas PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) dalam memenuhi kewajiban pinjaman sindikasi senilai US$ 5 juta pada September mendatang dan pembayaran bunga obligasi sebesar US$ 13 juta dari obligasi yang diterbitkan senilai US$ 300 juta.
Baca Juga: Panin Dubai Syariah akan restrukturisasi kredit Duniatex sebesar Rp 262,9 miliar
Jika dirinci, pinjaman bank tersebut terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp 1,82 triliun, utang jangka panjang yang akan jatuh tempo Rp 485,3 miliar dan utang jangka panjang Rp 2,93 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan pihaknya terus mengamati hal tersebut. Namun, sejauh ini regulator menilai iklim industri Tanah Air masih positif.
"Itu masalahnya kan di masing-masing perusahaannya, tapi tetap dicermati pengaruhnya terhadap bank. Sejauh ini tidak mengganggu kinerja bank secara umum," ujarnya di Jakarta, Rabu (24/7).
Pun, menurut OJK setiap bank memiliki cara tersendiri untuk memitigasi risiko termasuk pemupukan pencadangan dan restrukturisasi.
Baca Juga: Bank Jateng menyebut seluruh kredit Duniatex sudah lunas pada Juni 2019
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja juga ikut bicara. Menurutnya, kasus yang menimpa Duniatex tidak mencerminkan kondisi secara industri. Meski begitu, menurut beberapa debitur BCA industri tekstil memang terpapar dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Terutama dari harga produksi tekstil yang sangat fluktuatif. "Tapi tidak bisa dibilang industrinya jelek, tergantung individual perusahaan," tuturnya.
Melihat adanya potensi pelemahan di sejumlah sektor, Jahja menuturkan pihaknya menjadi lebih berhati-hati menyalurkan kredit di semester II 2019. Namun, BCA memastikan tidak ada sektor yang saat ini dihindari.
Sebab, perseroan sudah punya beragam amunisi untuk menepis potensi NPL. Salah satunya, rasio pencadangan yang dijaga tinggi sebesar 183,7% di bulan Juni 2019.
Baca Juga: Di antara tiga bank besar, laba Bank BCA tumbuh paling tinggi
Adapun, hingga kuartal II 2019 BCA berhasil menjaga NPL stabil di level 1,4% dan diramal bertahan sampai akhir tahun.
Sementara itu, Bob Tyasika Ananta, Direktur Manajemen Risiko BNI menuturkan tantangan menjaga kualitas di 2019 sangat sengit. Namun, jika melihat tren NPL perseroan saat ini masih terjaga rendah di 1,8% hingga akhir semester I 2019. Hingga penghujung tahun, bank berlogo 46 ini memproyeksi NPL maksimal akan ada di 2%.
"Semester I 2019, NPL dapat kami jaga sesuai guidance. Sedikit di bawah 2%," katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/7).
Pun manajemen risiko BNI cukup merata di seluruh segmen kredit. Ke depan, pihaknya pun tetap memfokuskan ekspansi kredit ke nasabah berkualitas. BNI juga sudah mempertebal rasio pencadangan sebanyak 156,5% per akhir Juni 2019, naik 6,3% secara tahunan.
Baca Juga: Fitch Ratings kembali pangkas peringkat utang anak usaha Duniatex Group
Sementara terkait Duniatex, Bob sebelumnya mengatakan eksposur perseroan ke perusahaan tekstil tersebut mencapai Rp 459 miliar. Status kredit debiturnya menurut Bob berpotensi ditingkat menjadi pra-kredit macet dari saat ini kolektibilitas 1.
Setali tiga uang, Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati Surjaudaja bilang saat ini risiko kredit belum membaik karena kondisi makro belum sesuai harapan.
Pihaknya pun memandang, ruang gerak NPL ke level yang lebih tinggi cukup terbuka. Guna mengantisipasi hal itu, perseroan pun sudah lebih berhati-hati dan telah memupuk rasio pencadangan hingga mencapai 200% di semester I 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News