kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

GWM, Bunga Acuan BI, dan Kredit Naik, Likuiditas Bank Besar Masih Longgar


Senin, 26 September 2022 / 05:40 WIB
GWM, Bunga Acuan BI, dan Kredit Naik, Likuiditas Bank Besar Masih Longgar
ILUSTRASI.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank-bank besar mengklaim kondisi likuiditas mereka masih cukup longgar untuk memenuhi kebutuhan target ekspansi kredit meskipun pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sudah mulai melambat. Oleh karena itu, mereka belum akan terburu-buru menaikkan suku bunga dana. 

Namun, kondisi likuiditas perbankan ke depan akan mengetat seiring dengan semakin tingginya pertumbuhan penyaluran kredit, normalisasi kebijakan giro wajib minimum (GWM) ke level 9% per September, dan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 75 basis poin menjadi 4,25%. 

Untuk menjaga likuiditas, bank-bank jumbo ini akan lebih fokus mendorong pertumbuhan biaya murah atau Current Account Saving Account (CASA) dengan penguatan layanan digital yang akan semakin memudahkan nasabah bertransaksi. 

Baca Juga: Menghitung Ulang Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Terhadap Realisasi Investasi

Kondisi likuiditas yang cukup longgar salah satunya dicatatkan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) walaupun kredit sudah semakin meningkat. Hal itu ditandai dengan rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit ratio (LDR) yang masih berada di level 63,5% per Juni 2022. 

Kondisi likuiditas ini tak lepas dari kondisi pandemi yang mendorong DPK di bank meningkat tajam sedangkan ekspansi kredit terbatas. Penyaluran kredit baru mulai ekspansif di tahun ini seiring pulihnya ekonomi. 

Adapun kredit BCA sudah tumbuh 13,8% YoY per Juni 2022. Sedangkan DPK tumbuh tidak tidak jauh berbeda dari kredit yakni 12,9% YoY.

"Kondisi likuiditas BCA masih longgar, termasuk likuiditas valas. LDR valas kami sekitar 59,4%," kata Vera Eve Lim Direktur Keuangan BCA dalam paparannya baru-baru ini. 

Baca Juga: Jarak Laju Kredit dan DPK Perbankan Semakin Melebar

LDR valas BCA memang naik dari level 52,9% pada periode yang sama tahun lalu. Kenaikan ini seiring dengan pertumbuhan kredit valas yang cukup tinggi yakni 22,8% YoY jadi Rp 41,2 triliun. Sedangkan DPK valas BCA hanya tumbuh 9,3% YoY jadi Rp 69,3 triliun.

Vera bilang, BCA akan terus mendorong pertumbuhan dana murah ke depan sebagai faktor utama untuk membiayai pertumbuhan kredit dengan pricing yang bersaing. 

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menyebutkan kondisi likuiditas perseroan saat masih sangat longgar meskipun kredit sudah semakin mengalami pertumbuhan. Oleh karena itu, perseroan belum berada pada kondisi untuk segera menaikkan bunga dananya. 

Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan, kondisi likuiditas perseroan saat ini masih sangat memadai untuk mengejar target pertumbuhan kredit yang telah ditetapkan tahun ini. Per Juni 2022, LDR BRI secara konsolidasi masih berada di level 88,5%. Sementara batas LDR perbankan yang aman ada di level 92%.

Baca Juga: Transaksi Digital Banking Tumbuh 31,40% Mencapai Rp 4.557,5 triliun per Agustus

Berkaca pada posisi LDR yang masih di bawah 90%, BRI sejauh ini belum melakukan penyesuaian bunga dana sesuai dengan kenaikan pertama suku bunga acuan yang dilakukan BI

"Dengan kondisi LDR saat ini, BRI justru perlu tetap mendorong penyaluran kredit hingga LDR di level 90%–92%. Baru setelah menyalurkan kredit, kami tengok dulu, apakah kami punya likuiditas atau tidak. Kalau likuiditasnya tidak cukup, baru kami naikkan suku bunga. Dampaknya kalau biaya dana naik ya suku bunga kredit dinaikkan,” kata Sunarso.

Sementara untuk menjaga likuiditas ke depan seiring dengan kredit yang terus meningkat, BRI akan fokus menjaga CASA. Per Juni 2022, rasio CASA BRI secara konsolidasi ada di level 65,1%, naik dari 59,6% pada periode yang sama tahun lalu. Rasio CASA bank only naik dari 60,1% menjadi 65,4%. 

Baca Juga: OJK Terus Dorong Penguatan Pertahanan 3 Lapis di Industri Jasa Keuangan

Sunarso bilang, posisi rasio dana murah BRI ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah BRI. 

Sejalan dengan kenaikan rasio dana murah itu maka biaya dana atawa cost of fund (CoF) BRI turun menjadi 1,9% pada Juni 2022, dari 2,4% pada Juni tahun lalu. "Biaya dana ini merupakan yang terendah sepanjang sejarah BRI," ujar Sunarso. 

Menanggapi terkait bunga tabungan bank nol persen saat ini, Sunarso mengatakan hal itu sejalan dengan kondisi likuiditas perbankan yang masih sangat longgar. 

Dia menjelaskan, ada dua faktor penting yang akan menentukan pergerakan bunga ke depan. Pertama, pulihnya ekonomi dan masyarakat mulai aktif menarik uang di bank untuk memulai usaha. Alhasil, kredit bakal tumbuh dan kebutuhan likuiditas meningkat. 

Baca Juga: Suku Bunga BI Naik, Kredit Konsumsi Berpotensi Turun

Kedua adalah krisis pangan dan energi, serta masalah tingginya inflasi di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia, sehingga mengakibatkan bank sentral mengerek suku bunga acuan. 

Saat ini BI sudah menaikkan suku bunga acuan dua kali sebanyak 75 basis poin menjadi 4,25% dan juga telah  menaikkan giro wajib minimum (GWM) menjadi 9 persen pada September 2022. 

Namun, kenaikan suku bunga BI menurutnya tidak akan langsung serta merta membuat BRI menaikkan bunga dana. Kebijakan suku bunga dana itu akan kembali memperhatikan kondisi likuiditas perseroan. "Bagaimana responsnya? Kami akan lihat dulu dan tidak serta-merta panik segera menaikkan itu. Ada alarmnya yaitu LDR,” kata Sunarso.

Hanya saja ke depan, menurutnya, bunga tabungan akan kembali meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi. “Percayalah bahwa itu hanya sementara karena melimpahnya uang yang ditaruh di perbankan, tetapi begitu ekonomi pulih, kredit tumbuh lagi, dan masyarakat mulai menarik duitnya di bank, maka akan terjadi peningkatan kebutuhan likuiditas maka nanti tabungan akan naik bunganya,” pungkasnya.

Baca Juga: Perkuat Dana Murah, BTN Sasar Himpunan Tabungan Bisnis ke Pengusaha di Medan

Senada, PT Bank Mandiri Tbk juga masih memiliki likuiditas yang memadai. LDR perseroan per Juni 2022 tercatat sebesar 85,7%. 

"Likuiditas kami masih sangat bagus dengan rasio CASA bisa dipertahankan sebesar 85,7%. Sehingga tekanan untuk melakukan penyesuaian bunga kredit tidak kuat," kata Sigit Prastowo Direktur keuangan Bank Mandiri. 

Terjaganya likuiditas itu tak lepas dari upaya Bank Mandiri mendorong rasio CASA. Namun, Bank Mandiri mengakui bahwa kenaikan GWM akan menurunkan likuiditas perbankan pada tahun ini. Corporate Secretary Bank Mandir Rudi AS Aturridha memproyeksikan akan terjadi penurunan likuiditas perbankan ke level Rp 350 triliun hingga Rp 400 triliun dengan adanya kenaikan GWM Rupiah menjadi 9% di September 2022. 

Kendati begitu, level likuiditas tersebut masih lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum pandemi yang hanya mencapai sekitar Rp 250 triliun. 

Baca Juga: Laju Kredit dan DPK Perbankan Sama-sama Melambat pada Agustus

"Oleh karena itu, kami proyeksikan perbankan akan masih tetap memiliki likuiditas yang cukup, baik untuk memenuhi kenaikan GWM maupun kebutuhan bisnis lainnya,” jelas Rudy. 

Walaupun terjadi kenaikan GWM, Bank Mandiri memproyeksikan bisnis masih akan tetap tumbuh mengingat bahwa secara umum perbankan masih memiliki likuiditas yang cukup untuk melakukan ekspansi bisnis sejalan dengan pemulihan ekonomi Indonesia.

"Bank Mandiri akan selalu menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan ekspansi kredit yang sehat. Selain itu, Bank Mandiri juga senantiasa menjaga pertumbuhan DPK sesuai dengan target yang direncanakan agar dapat menyokong pertumbuhan kredit sehingga pengelolaan likuiditas dapat dilakukan secara prudent dan optimal,” pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×