Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Belakangan ini banyak terjadi kasus kriminalisasi perbankan, sehingga membuat Bank Indonesia (BI) pusing kepala sampai-sampai harus merevisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) soal jasa pihak ketiga penagih utang serta memberhentikan sementara layanan wealth management di 23 bank.
Pengamat Perbankan Strategic Indonesia, Jos Luhukay menilai, ada beberapa cara yang dapat diambil untuk menghindari pengulangan pelanggaran bank. Pertama, jangan melakukan kegiatan soal bank sebelum yakin itu benar. Sering kali, pelanggaran terjadi karena pelaku yang sebenarnya ragu atau nekat mengambil tindakan. Ini tidak saja terjadi di peringkat manajemen junior, melainkan juga di posisi-posisi yang lebih senior.
Jos bilang, prinsip ini tidak hanya berlaku bagi pelaku perbankan, tetapi juga bagi masyarakat yang menjadi nasabah. Kekurangan pengertian akan produk layanan perbankan umumnya menimbulkan ekspektasi yang salah, kemudian bermuara pada kekecewaan atau bahkan persepsi yang kurang tepat mulai dari harapan akan hasil guna yang dihasilkan sebuah produk, risiko yang diambil, sampai kepada keamanan dana yang dititipkan.
Jos menjelaskan, jenis-jenis pengambilan keputusan berisiko dalam hal ini seperti menggampangkan prosedur dengan menandatangani formulir blangko tanpa sadar akan risikonya. Kemudian terpukau akan janji hasil yang tinggi dan mudah.
Sampai saat ini, skim ponzi atau pyramid scheme masih saja terjadi, bahkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Kemudian percaya, bahwa sebuah produk yang berhasil guna variatif akan terus menghasilkan manfaat yang baik, karena kinerjanya di masa lalu cukup menjanjikan.
Kedua adalah informasi yang asimetris. Bank cenderung untuk tidak terbuka dalam berbagai pengalaman pelanggaran yang terjadi di perusahaannya. Ini bisa dimengerti karena tumbuh dari kekhawatiran terbukanya kekurangan-kekurangan dengan implikasi risiko masing-masing.
"Tidak meratanya pengalaman dan belum adanya mekanisme formal untuk berbagi pengalaman ini jamak dinamakan information asymmetry. Sehingga diperlukannya peran wasit yang dipegang oleh Bank Sentral yang telah mengeluarkan regulasi.
Di sisi lain, asimetris ini juga menyebabkan perilaku layanan yang tidak merata karena kurangnya informasi mengenai seseorang, sebuah bank bisa saja menolak untuk melayaninya, atau memberikan layanan yang kurang tepat, sehingga kemudian bermasalah.
Lebih jauh, kedua forum formal berbagi tersebut sebaiknya dibentuk oleh BI, pelaksanaannya dapat dilakukan oleh dan di dalam BI, terutama basis data pelanggaran.
Sedangkan, biro kredit seperti di sejumlah negara lainnya, dapat diterapkan oleh swasta, namun tetap dalam pengawasan Bank Sentral. Nah, terbentuknya kedua forum ini akan melengkapi belantika industri perbankan Indonesia dengan menyelesaikan masalah informasi yang asimetris secara tepat dan berkesinambungan.
Kemudian yang ketiga yakni penanganan pelanggaran. Menurut Jos, bank pasti mempunyai prosedur baku untuk menangani pelanggaran. Sering kali penanganan pelanggaran belum seragam, terutama dari sisi pelaporan oleh bank kepada BI yang dapat tertunda.
"Ini akan memberikan peringatan kepada regulator, sehingga tindakan-tindakan yang diperlukan dapat diambil dengan cepat," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News