Reporter: Ferry Saputra | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan menunda penerapan mekanisme co-payment pada produk asuransi kesehatan yang tertuang dalam Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Adapun mekanisme tersebut direncanakan berlaku mulai 1 Januari 2026.
OJK memutuskan hal tersebut mengikuti hasil Rapat Kerja perdana bersama Komisi XI DPR RI pada Senin (30/6).
Mengenai hal itu, PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia (ACPI) menyatakan akan mengikuti hasil keputusan yang terjadi saat rapat kerja DPR dengan OJK.
"Kami akan mengikuti keputusan tersebut, serta patuh sesuai regulasi terbaru dari OJK," ujar Wakil Presiden Direktur ACPI Nico Prawiro kepada Kontan, Senin (30/6).
Meskipun demikian, Nico menerangkan pihaknya akan tetap mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penerapan co-payment. Dengan demikian, jika suatu saat nanti mekanisme co-payment jadi diterapkan, ACPI sudah siap dari segala hal.
Baca Juga: OJK Menunda Kebijakan Co-Payment 10% Asuransi Kesehatan
Dalam rapat tersebut, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai kebijakan mekanisme co-payment sebagaimana tercantum dalam SEOJK 7/2025 memicu pro dan kontra. Sebab, mewajibkan peserta menanggung minimal 10% dari total klaim, dengan batas maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap.
Menurutnya, regulasi tersebut seharusnya dibahas lebih menyeluruh bersama DPR, bukan hanya didasarkan pada kajian eksternal, seperti yang dilakukan bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyaraka (LPEM FEB) Universitas Indonesia.
"Kami selama ini tidak pernah punya masalah dengan OJK. Kami sering melakukan konsinyering. Namun, soal ini tidak pernah disampaikan. Tiba-tiba keluar aturan seperti itu," ujar Misbakhun dalam rapat kerja bersama OJK di Gedung Parlemen DPR, Senin (30/6).
Misbakhun juga mendesak OJK untuk menunda implementasi kebijakan tersebut hingga aturan yang lebih matang disusun dalam bentuk Peraturan OJK (POJK), bukan hanya surat edaran yang lemah secara struktural dan hukum.
Senada dengan Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR RI Eric Hermawan menilai kebijakan co-payment berpotensi lebih memberatkan masyarakat, dibanding memberikan solusi.
Baca Juga: DPR Kritik SEOJK Co-Payment, OJK Sepakat Tunda Penerapan hingga Aturan Final
"Co-payment justru membebani rakyat. Mereka tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan, padahal yang akan paling terdampak adalah mereka (rakyat), justru perusahaan asuransi yang diuntungkan," ucapnya.
Lebih lanjut, Eric meminta agar kebijakan co-payment ditunda paling tidak hingga 2027. Dengan demikian, ada waktu yang cukup untuk pengkajian ulang.
Menanggapi kritik DPR, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono, menyatakan kesiapannya untuk mengikuti arahan DPR.
Meskipun demikian, Ogi tetap menekankan bahwa kebijakan co-payment penting untuk memperbaiki ekosistem asuransi kesehatan, mengingat rasio klaim yang sudah mendekati 100% dan mengancam keberlanjutan industri.
"Tahun lalu saja rata-rata premi sudah naik lebih dari 40%. Co-payment adalah salah satu langkah untuk menjaga keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan," kata Ogi. (*)
Selanjutnya: Bunga Deposito Bank OCBC di Bulan Juli 2025
Menarik Dibaca: Bunga Deposito Bank OCBC di Bulan Juli 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News