kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.931.000   26.000   1,36%
  • USD/IDR 16.465   -15,00   -0,09%
  • IDX 6.898   66,24   0,97%
  • KOMPAS100 1.001   10,19   1,03%
  • LQ45 775   7,44   0,97%
  • ISSI 220   2,72   1,25%
  • IDX30 401   2,31   0,58%
  • IDXHIDIV20 474   1,13   0,24%
  • IDX80 113   1,15   1,03%
  • IDXV30 115   -0,06   -0,05%
  • IDXQ30 131   0,58   0,44%

Kinerja Multifinance Melambat, Masih Ada Peluang Pertumbuhan?


Selasa, 06 Mei 2025 / 17:00 WIB
Kinerja Multifinance Melambat, Masih Ada Peluang Pertumbuhan?
ILUSTRASI. Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan industri pembiayaan melambat dalam beberapa tahun terakhir.


Reporter: Aulia Ivanka Rahmana | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri pembiayaan alias multifinance tengah menghadapi berbagai tekanan. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan pembiayaan melambat dalam beberapa tahun terakhir.

Sepanjang tahun 2022, pembiayaan tumbuh 13,48% secara year on year (YoY), kemudian pertumbuhannya menurun menjadi 13,23% di 2023. Sepanjang 2024 laju pertumbuhannya kembali melambat menjadi 6,92%, dan kembali tertekan pada Februari 2025 dengan pertumbuhan hanya 5,94%.

Di saat bersamaan, kualitas pembiayaan menunjukkan pelemahan. Rasio non-performing financing (NPF) gross perusahaan pembiayaan terus naik dari 2,32% pada 2022 menjadi 2,44% di 2023. 

Baca Juga: Industri Pembiayaan Melambat, APPI Beberkan Penyebabnya

Angka ini kembali naik menjadi 2,70% per Desember 2024, dan menyentuh 2,87% pada Februari 2025.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyebut pelemahan daya beli masyarakat menjadi faktor utama penurunan permintaan pembiayaan, terutama di sektor otomotif. 

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024 itu lebih ditopang dari sektor tambang dan energi. Sementara sektor ritel mengalami gangguan akibat penurunan daya beli,” ujarnya kepada Kontan, Senin (5/5).

Suwandi mengatakan, masyarakat saat ini tengah menahan konsumsi karena banyak yang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan penghasilan. Hal ini berdampak pada industri pembiayaan, khususnya segmen otomotif, yang menjadi portofolio terbesar perusahaan pembiayaan.

Dengan demikian, perusahaan multifinance menjadi lebih selektif dalam menyalurkan kredit, sehingga nominal pembiayaan yang tersalurkan ikut menurun. 

Di sisi lain, belanja pemerintah yang melambat akibat pengetatan fiskal juga memperlemah perputaran uang di masyarakat. Selain itu, kebijakan underwriting para pemain pun diperketat, yang menyebabkan volume pembiayaan baru menjadi lebih rendah. 

Akibatnya, rasio NPF gross meningkat karena nominal pembiayaan yang lebih kecil harus terbagi dengan jumlah kredit bermasalah yang tetap atau bahkan meningkat.

Baca Juga: NPF Multifinance Naik Jadi 2,96% per Januari 2025, APPI: Masih Terkendali

Di sisi lain, pengamat multifinance Jodjana Jody melihat perlambatan ini sebagai sinyal awal kontraksi industri. Ia menilai turunnya kinerja multifinance tak lepas dari pelemahan sektor riil, terutama otomotif. 

“Mayoritas multifinance bookingnya masih auto based, baik roda dua maupun empat. Kita lihat industri otomotif roda empat mengalami penurunan terus selama tiga tahun terakhir dan kuartal I-2025 saja industrinya terkoreksi," ujarnya kepada Kontan, Senin (5/5).

Ia menyebut, pembiayaan produktif seperti investasi dan modal kerja juga ikut tersendat karena daya beli yang menurun. Dengan pemburukan NPF dan melambatnya kredit, menurutnya hal itu sudah memberikan sinyal jelas bahwa industri sedang menghadapi kontraksi.

Jody bilang, bahwa sektor pembiayaan perlu mulai mencari sumber pertumbuhan baru di luar otomotif. “Pertumbuhan credit multifinance mestinya mulai disokong industri lain, dan ini perlu pembelajaran baru,” katanya.

Target Piutang Pembiayaan Multifinance

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan piutang pembiayaan industri pembiayaan atau multifinance dapat tumbuh 8%-10% di sepanjang tahun 2025. 

Mengenai hal ini, Suwandi mengungkapkan bahwa proyeksi 8%–9% dari OJK masih tergolong optimistis, namun tetap realistis jika pemulihan ekonomi berjalan lebih baik pada pertengahan tahun.

"Kalau keadaan membaik di bulan-bulan ke depan, ya mungkin optimistiknya bisa tercapai 7%–8%. Tapi saya melihatnya di kisaran 6%–8%,” katanya.

Sementara itu Jody menyampaikan target pembiayaan tahun ini sebaiknya realistis mengikuti kondisi industri yang sedang merosot. 

Baca Juga: APPI Berharap Tambahan Likuiditas dari BI ke Perbankan Bisa Atasi Masalah Pendanaan

Ia memperkirakan pertumbuhan single digit, bahkan 5% saja dinilai sudah baik karena sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional. 

Di tengah tantangan perlambatan ekonomi dan naiknya NPF, ia melihat masih ada potensi dari kredit dana tunai untuk konsumsi dan usaha kecil, meski penyalurannya perlu dilakukan secara hati-hati.

"Target OJK menurut saya penuh tantangan di tengah perlambatan ekonomi dan NPF yang merangkak naik," tegasnya.

Selanjutnya: Komoditas Safe Haven Naik Lagi, Perak Lebih Prospektif daripada Emas?

Menarik Dibaca: Apakah Kolesterol Bisa Sembuh? Ini Faktanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×