Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Penyaluran kredit konstruksi mendominasi rasio kredit macet alias nonperforming loan/NPL di bank umum. Per Juli 2015, rasio NPL sektor ini mencapai 5,54%, melampaui rasio kredit macet sektor pertambangan dan penggalian yang sebesar 3,81% dan transportasi, pergudangan, dan komunikasi yang berkisar 3,55%.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, total kredit perbankan yang mengalir untuk sektor konstruksi mencapai Rp 165,573 triliun. Di antaranya sebesar Rp 9,179 triliun tercatat sebagai kredit bermasalah. Rasio NPL sektor konstruksi ini meningkat lebih dari 1% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 4,40%.
Kredit perbankan yang mengalir untuk sektor pertambangan dan penggalian sendiri mencapai Rp 138,308 triliun dengan nilai kredit bermasalah sebesar Rp 5,282 triliun. Jika dibandingkan dengan Juli 2014 lalu yang sebesar 3,09%, rasio NPL sektor ini naik tidak lebih dari 0,72%.
Sementara, kredit yang mengalir untuk sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar Rp 174,332 triliun dengan kredit macet tembus Rp 6,206 triliun. Pada Juli 2014 lalu, rasio NPL sektor ini masih sekitar 2,78%.
Adapun, di kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha atau BUKU 4, NPL tertinggi berasal dari kredit perdagangan besar dan eceran. Sektor ini tercatat memiliki rasio kredit macet hingga 3,53%. Lalu diikuti oleh kredit konstruksi dengan NPL 3,00%.
Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk mengatakan hal senada. Menurut ia, pihaknya mencatat kredit bermasalah memang banyak datang dari segmen ritel. "Kalau tambang, kami memang tidak banyak membiayai sektor pertambangan. NPL banyak dari ritel," imbuh dia, kepada KONTAN, Selasa (29/9).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News