Reporter: Mona Tobing |
JAKARTA. Prediksi perkembangan industri pembiayaan di alat berat yang bernasib suram pada semester II ini mendekati kenyataan. Mulai akhir Agustus kemarin, multifinance alat berat mulai merasakan perlambatan pertumbuhan penyaluran pembiayaannya. Diperkirakan, perlambatan pembiayaan bakal terus berlanjut hingga akhir tahun mendatang.
Herman Lesmana, Direktur PT Buana Finance, mengatakan, perlambatan pembiayaan itu bukan akibat melemahnya kegiatan multifinance ataupun pasar alat berat di Indonesia. Namun, penyebabnya berasal dari luar negeri. Perusahaan-perusahaan produsen alat berat, khususnya di Jepang, mengurangi jumlah produksi.
Walhasil, pengiriman alat berat ke Indonesia pun melambat. Imbasnya, stok barang di diler terbatas sehingga konsumen harus inden.
Menurut Herman, sampai awal Agustus lalu masih normal, bahkan pembiayaan alat berat pada bulan itu masih tinggi, mencapai Rp 200 miliar. "Tapi, pembiayaan September ini mulai lesu," ujar Herman, akhir pekan lalu.
Yang paling terasa adalah pembiayaan alat berat di sektor pertambangan. Bahkan, diler-diler yang selama ini kerjasama dengan Buana Finance pun mengalami kekosongan produk.
Menurut Herman, pengurangan produksi di tingkat produsen merupakan dampak melemahnya harga komoditas pertambangan di pasar dunia. "Ini juga karena faktor musiman, saat penghujan, pekerjaan di sektor tambang berkurang," terang Herman.
Agar kinerja kredit alat berat atau yang tergabung dalam sewa guna usaha (SGU) tetap tumbuh, manajemen mengalihkan pembiayaan ke sektor lain. Salah satunya pembiayaan ke industri kertas dan perkebunan.
Alihkan pembiayaan
Dua pemain baru di pembiayaan alat berat, PT Al Ijarah Indonesia Finance (ALIF) dan PT Verena Multifinance (Verena Finance) juga mulai mewaspadai penurunan ini.
Bahkan, mereka mulai mengalihkan fokus pembiayaan alat berat dari sektor pertambangan ke sektor lainnya seperti perkebunan dan infrastruktur. "Kami membiayai alat berat ke perusahaan yang menyasar pasar ritel, karena sektor ini tumbuh lebih signifikan dan terbebas dari dampak harga komoditas tambang," terang Efrinal Sinaga, Direktur ALIF.
Selain itu, ALIF juga mengutamakan pembiayaan ke debitur existing demi keamanan kredit. Selama ini debitur ALIF berasal dari perusahaan semen, minyak, dan perkebunan. Mereka rutin membeli 1-3 unit truk setiap bulan. Setiap bulannya, Efrinal menyebut nilai pembiayaan alat berat dan kendaraan niaga mencapai Rp 50 miliar.
ALIF menargetkan nilai pembiayaan berasal dari alat berat sampai akhir tahun bisa mencapai Rp 1 triliun. Komposisi nilai pembiayaan sebanyak 60% dialokasikan pada pembiayaan truk. Lalu, 30% adalah alat berat dan 10% pembiayaan mesin.
Andi Harjono, Direktur Keuangan Verena Finance, menjelaskan, pengalihan fokus pembiayaan perlu dilakukan agar laju kredit tetap besar. Apalagi, prospek pembiayaan di sektor infrastruktur masih terbilang masih tinggi. "Permintaan alat berat di bidang infrastruktur dan listrik meningkat sejak kuartal III tahun ini," kata Andi. Ini karena pemerintah mulai mencairkan dana pembangunan untuk proyek-proyek infrastruktur dan energi.
Verena Finance menargetkan nilai pembiayaan dari alat berat mencapai Rp 500 miliar sampai akhir tahun. Jumlah itu menyumbang 25% dari total target seluruh pembiayaan tahun ini Rp 2 triliun. "Hingga Agustus 2012, total pembiayaan sudah mencapai Rp 1,4 triliun," jelas Andi.
Menurutnya, di sisa waktu tahun ini, manajemen masih bisa mengejar target pembiayaan. Nah, pembiayaan di sektor infrastruktur, listrik dan perkebunan, yang akan menjadi penopang kinerja kredit alat berat. n
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News