Reporter: Ferry Saputra | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Outstanding pembiayaan fintech peer to peer (P2P) lending masih tumbuh meroket mencapai dobel digit. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan per November 2024 mencapai Rp 75,60 triliun. Pencapaian per November 2024 tumbuh sebesar 27,32% Year on Year (YoY), sedangkan Oktober 2024 tumbuh sebesar 29,23% YoY.
Meski outstanding pembiayaan masih tumbuh signifikan, tingkat risiko kredit macet secara agregat atau TWP90 fintech P2P lending malah meningkat per November 2024. Adapun TWP90 per November 2024 sebesar 2,52%, sedangkan TWP90 per Oktober 2024 sebesar 2,37%.
OJK juga mencatat bahwa pembiayaan bermasalah atau kredit macet fintech P2P lending didominasi oleh kalangan usia 19-34 tahun atau anak muda dengan porsi 53,48% per November 2024.
Menanggapi fenomena itu, pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda tak memungkiri kredit macet yang didominasi oleh anak muda dipengaruhi tren gaya hidup saat ini dan pertimbangan yang kurang matang saat meminjam di fintech lending.
Nailul mengatakan tren You Only Live Once (YOLO) membuat anak muda mengeluarkan uang hanya berdasarkan keinginan mereka. Artinya, mumpung masih hidup dan bekerja, mereka akan mengeluarkan uang untuk konsumsi sesuai dengan keinginan mereka.
"Terkadang keinginan mereka terbentur dengan dana yang miliki. Akhirnya, mereka melakukan pinjaman ke pinjaman daring," ujarnya kepada Kontan, Kamis (16/1).
Baca Juga: Fintech Samir Beberkan Penyebab Anak Muda Sering Jadi Penyumbang Kredit Macet
Nailul bilang anak muda lebih memilih meminjam ke fintech lending dan bukan ke kartu kredit karena melihat proses kartu kredit yang lama, kemudian ketidakpastian penerimaan, membuat orang malas mengurus kartu kredit.
"Masyarakat muda tentu malas berhadapan dengan proses seperti itu. Ditambah anak muda dihadapkan pada kondisi lebih memilih bertransaksi menggunakan gawai. Alhasil, fintech lending yang lebih difavoritkan," kata Nailul.
Sementara itu, sejumlah fintech P2P lending juga turut angkat bicara terkait fenomena anak muda yang menjadi penyumbang kredit macet. Misalnya, fintech P2P lending PT Sahabat Mikro Fintek (Samir) tak memungkiri bahwa kelompok usia 19-34 tahun sering menjadi penyumbang cukup besar secara statistik untuk kredit macet. CEO Samir Yonathan Gautama mengatakan ada sejumlah penyebab yang membuat hal itu terjadi.
Salah satu faktornya, seperti kurangnya literasi keuangan, pengelolaan keuangan pribadi yang belum matang, serta kondisi ekonomi yang mungkin dihadapi, seperti kebutuhan gaya hidup atau tanggungan mendesak.
"Kami juga mengamati bahwa beberapa pengguna muda terkadang kurang memahami risiko atau kewajiban yang terkait dengan pinjaman, yang akhirnya berdampak pada ketidakmampuan memenuhi kewajiban pembayaran secara tepat waktu," katanya kepada Kontan, Kamis (16/1).
Lebih lanjut, Yonathan mengungkapkan pihaknya mengimplementasikan berbagai langkah untuk memitigasi risiko kredit macet, terutama pada segmen usia muda, seperti kampanye literasi keuangan yang kami lakukan secara berkala baik secara online maupun offline.
"Kami berupaya meningkatkan pemahaman pengguna tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang sehat," ujarnya.
Selain itu, Yonathan menerangkan sistem credit scoring yang dirancang Samir juga dipastikan lebih ketat untuk menilai kemampuan finansial calon penerima dana. Dengan demikian, Samir dapat memastikan pendanaan diberikan kepada individu dengan kemampuan pembayaran yang memadai.
Saat ini, Yonathan bilang TWP90 perusahaan per Desember 2024 tercatat di bawah 2%. Dia menyebut pihaknya akan terus menjaga stabilitas TWP90 dengan beberapa strategi. Misalnya, melalui teknologi analisis data untuk memantau perilaku pembayaran pengguna secara real-time, sehingga potensi risiko dapat diidentifikasi lebih awal.
"Kami juga bekerja sama dengan lembaga kredit dan regulator untuk memastikan integritas data dan sistem penilaian kredit yang lebih baik," kata Yonathan.
Fintech P2P lending Modalku yang bergerak di sektor produktif menyatakan tingkat kredit macet borrower biasanya lebih dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersinggungan langsung dengan bisnis borrower baik internal maupun eksternal.
Baca Juga: Generasi Milenial Dominasi Pengguna BNPL di Indonesia, Capai 48,27% per November 2024
Country Head Modalku Indonesia Arthur Adisusanto mengatakan faktor internal yang bisa memengaruhi bisnis borrower adalah manajemen arus kas yang kurang sehat dan tingkat kapasitas pembayaran yang rendah. Untuk faktor eksternal, seperti perlambatan ekonomi, fluktuasi pasar, hingga perubahan regulasi.
"Kami meyakini setiap pengusaha memiliki tantangan tersendiri terlepas dari umur pengusaha tersebut. Oleh karena itu, kami tidak mengkategorisasikan profil tertentu, termasuk umur, sebagai kelompok yang lebih berisiko mengalami kredit macet atau wanprestasi," katanya kepada Kontan, Kamis (16/1).
Selain itu, Arthur bilang Modalku terus berkomitmen melakukan penilaian risiko kredit yang komprehensif pada setiap penyaluran pendanaan guna meminimalkan risiko wanprestasi dari semua segmen borrower.
"Dengan pendekatan itu, diharapkan dapat mendukung pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan dan mendorong ekosistem fintech yang lebih sehat di Indonesia," ujarnya.
Lebih lanjut, Arthur menerangkan tingkat rasio kredit macet secara agregat atau TWP90 Modalku per 16 Januari 2024 berada di level 1,05%.
Untuk menjaga TWP90 tetap terkendali, Modalku secara konsisten menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential norm) dan mengelola manajemen risiko sebaik mungkin dalam setiap proses pendanaan sebagai bagian dari strategi mitigasi risiko. Arthur menyebut pihaknya juga terus mengoptimalkan kriteria penilaian kelayakan penerima dana melalui kalibrasi berkala yang didasarkan pada data historis penyaluran dan pengembalian dana.
"Seluruh proses analisis kredit di Modalku mengacu pada prinsip Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral (5C) yang sesuai dengan ketentuan SEOJK Nomor 19 Tahun 2023," ungkap Arthur.
Baca Juga: Kredit Macet Perusahaan Pembiayaan Terus Meningkat, Ini Kata Pengamat
Fintech P2P lending GandengTangan menyatakan anak muda tak banyak menjadi penyumbang kredit macet di perusahaan. Chief Operating Officer GandengTangan Darul Syahdanul mengatakan apabila ada anak muda yang mengalami kredit macet atau keterlambatan bayar, hal itu karena adanya penurunan pendapatan usaha mereka.
Untuk mengantisipasi kredit macet, termasuk yang disumbang anak muda, GandengTangan melakukan seleksi yang ketat terkait pengajuan pinjaman.
"Kami juga mengupayakan agar pinjaman yang diperoleh dalam bentuk barang, sehingga penggunaan pinjaman dapat digunakan untuk sesuatu yang produktif atau mendukung kegiatan usaha mereka," tuturnya kepada Kontan, Kamis (16/1).
Selain itu, Darul mengatakan pihaknya mengupayakan seluruh pinjaman untuk aktivitas produktif yang masuk dalam supply chain suatu group atau bisnis besar. Dengan demikian, pembiayaan yang diperoleh dapat meningkatkan kapasitas usaha dari peminjam.
"Kami juga terus menerapkan prinsip prudent dan memperkaya alternatif data dalam melakukan analisis calon peminjam," kata Darul.
Saat ini Tingkat Keberhasilan Bayar atau TKB90 GandengTangan berada di level 96,5%. Adapun GandengTangan mencatatkan penyaluran pembiayaan mencapai Rp 275 miliar sepanjang 2024.
Selanjutnya: Wall Street Melemah Tipis pada Kamis (16/1), Pasar Mencermati Kinerja 2024 Emiten
Menarik Dibaca: Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini, Cek Peringatan Dini Cuaca BMKG 17-19 Januari 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News