Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang pertengahan tahun, PT Bank BRI Syariah Tbk menikmati pertumbuhan signifikan. Hal ini tercermin dari peningkatan laba bersih setelah pajak pada bulan Mei 2018 menjadi sebesar Rp 96,31 miliar.
Direktur Utama BRI Syariah Hadi Santoso menuturkan, secara tahunan, jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 85,16% dibanding posisi bulan Mei 2017 sebesar Rp 52,02 miliar.
Anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) tersebut mengatakan peningkatan laba bersih tersebut utamanya ditopang dari pendapatan operasional perseroan yang menembus angka Rp 1,24 triliun. Perolehan ini lebih tinggi ketimbang beban operasional sebesar Rp 1,02 triliun pada bulan Mei 2018 lalu.
Total aset perseroan juga mencatatkan peningkatan cukup deras pada bulan Mei 2018, yaitu mencapai 21,41% year on year (yoy) menjadi Rp 35,72 triliun dari sebelumnya Rp 29,42 triliun pada bulan Mei 2017.
Hadi menjelaskan, peningkatan aset tersebut didorong oleh pertumbuhan pembiayaan perseroan menjadi Rp 20,42 triliun atau tumbuh sebesar 11,5% secara yoy dibandingkan bulan yang sama tahun lalu Rp 18,31 triliun. Sedangkan untuk dana pihak ketiga (DPK) mengalami peningkatan sebesar 13,62% yoy dari Rp 24,5 triliun pada bulan Mei 2017 menjadi sebesar Rp 27,84 triliun.
Direktur BRI Syariah Wildan mengatakan dari total pembiayaan tersebut, sebanyak 34% masuk ke segmen komersial sementara sisanya sebanyak 66% berasal dari segmen ritel (konsumer dan UMKM).
"Kami akan coba jaga tetap di porsi itu sampai akhir tahun, untuk tahun ini relatif target pembiayaan naik 14% sampai 15% (yoy)," ujarnya di Jakarta, Selasa (26/6).
Perseroan mengatakan, secara nominal tahun ini pihaknya mengincar pembiayaan sebesar Rp 22 triliun. Artinya sampai lima bulan pertama tahun ini, total pembiayaan perseroan sudah 92% mencapai target.
Sementara itu, dari sisi permodalan, BRI Syariah masih memiliki permodalan yang cukup kuat. Hal ini terlihat dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sebesar 29,93% meningkat dibandingkan posisi bulan Mei 2017 yang sebesar 20,68%. "Rasio tersebut masih jauh di atas ketentuan yang ditetapkan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yaitu 14%," ujar Hadi.
Pihaknya menyebut, posisi CAR memang sengaja dijaga tinggi untuk memperkuat sisi pendanaan perseroan guna menggenjot pertumbuhan pembiayaan. Hadi menuturkan, tahun ini pihaknya akan fokus menyalurkan pembiayaan ke sektor komersial terutama debitur-debitur Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Kami arahkan pembiayaan ke komersial, sambil berjualan di ritel juga. Terutama di sektor komoditas dan infrastruktur secara luas seperti jalan tol dan kelistrikan," imbuhnya.
Kredit bermasalah
Pun, dari sisi rasio pembiayaan bermasalah alias non-performing financing (NPF) perseroan masih terbilang tinggi yakni di level 4,32% per Mei 2018. Menurut Wildan, mayoritas NPF tersebut disumbang dari debitur pembiayaan komersial yang lama terutama sektor pertambangan.
Pihaknya juga telah melakukan sejumlah strategi untuk menjaga NPF di bawah 5% pada tahun ini. Salah satunya dengan melakukan restrukturisasi dan penjualan aset bermasalah. Memang, bila dibandingkan dengan posisi kuartal I 2018 posisi NPF perseroan telah mengalami penurunan sebanyak 60 basis poin (bps) dari 4,92%.
"NPF kami targetkan di bawah koridor OJK (di bawah 5%). Saat ini kami masih di bawah dan ditarget turun dari posisi 2017," tambah Wildan.
Adapun, rasio-rasio keuangan lainnya juga tercatat positif. Antara lain, return on asset (ROA) sebesar 0,90%, return on equity (ROE) sebesar 6,5%, net imbalan (NI) 5,16%, serta financing to deposit ratio (FDR) masih longgar di 73,05%.
Selain itu, perseroan juga berhasil menjaga efisiensi dengan menurunkan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) sebesar 90,29%, lebih baik dibandingkan posisi bulan Mei 2017 yang sebesar 94,05%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News