Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Likuiditas menjadi tantangan industri perbankan saat ini. Hingga kuartal III 2019, likuiditas sejumlah bank mengalami pengetatan yang ditandai dengan meningkatnya loan to deposit rasio (LDR) jauh di atas batas prudent yang ditetapkan regulator.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) misalnya mencatatkan LDR naik jadi 94,15% di triwulan III 2019 dari 92,6% pada periode yang sama tahun lalu. Penyaluran kredit bank ini tumbuh 11,6%, sedangkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya naik 9,9%.
Menurut Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo, salah satu faktor yang menyebabkan likuiditas ketat adalah current account defisit (CAD). " Impor barang/jasa lebih besar dibanding ekspor, sehingga ada likuiditas yang keluar," jelasnya pada Kontan.co.id, Jumat (27/10).
Baca Juga: Beban bunga tumbuh tinggi, laju NII perbankan mulai seret
Selain itu, dia mengakui, penerbitan obligasi yang dilakukan pemerintah juga menarik likuiditas dari sistem. Namun, dia menilai itu hanya di awal saja. Pada akhirnya, dana yang dihimpun itu akan dikeluarkan kembali dalam bentuk spending sehingga akan menambah likuiditas.
Sedangkan keberadaan fintech tidak menjadi isu yang andil dalam memperketat likuiditas. Sebab menurut Haru, secara regulasi fintech dilarang melakukan penghimpunan DPK. Lalu dana yang berputar dalam sistem fintech juga pada akhirnya akan ditempatkan di bank.
BRI memperkirakan, kondisi likuiditas akan membaik akhir tahun ini yang didorong oleh percepatan realisasi belanja negara di kuartal IV dan penurunan ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM). Relaksasi RIM juga memberikan ruang bank melakukan fungsi intermediary lebih baik.
Baca Juga: OJK beri lampu hijau P2P Lending berizin garap produk syariah
Untuk meningkatkan likuiditas , BRI akan menggenjot penghimpunan dana murah (CASA) dan meningkatkan transaction payment (cashless society) yang bisa lebih memudahkan masyarakat untuk bertransaksi misal melalui Agen BRIlink atau menggunakan Linkaja.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga menghadapi hal serupa. LDR bank berlogo 46 ini mencapai 96,6% per September 2019, naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 89%. Penyaluran kredit perseroan 14% yoy, sedangkan penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya naik 5,9%.
Herry Sidharta, Wakil Direktur Utama BNI mengatakan, pengetatan likuiditas sudah jadi isu beberapa tahun terakhir. Pasalnya, kredit tumbuh cukup tinggi terutama ada peningkatan permintaan dari sektor infrastruktur, namun tidak diimbangi dengan peningkatan DPK.
Baca Juga: Pengembang sambut baik penurunan suku bunga
"Likuiditas masih menjadi isu perbankan selama ini ditambah dengan penurunan suku bunga 7DRR yang dilakukan lembaga otoritas belakangan ini." ujarnya.
Dia mengakui, obligasi pemerintah turut jadi pesaing bank dalam mengumpulkan dana karena bunga yang ditawarkan cukup menarik. BNI memprediksi kondisi likuiditas perbankan sampai akhir tahun 2019 masih akan ketat, tetapi LDR dinilai masih akan berada pada batas aman dan ditargetkan sekitar 95%.
Untuk menjaga likuiditas, BNI akan lebih selektif dalam melakukan ekspansi kredit, menurunkan biaya dana mahal, serta meningkatkan flow penyerapan Giro dan Tabungan dari masyarakat dan nasabah eksisting.
Baca Juga: Dorong spin off UUS, OJK bakal terbitkan beleid sinergi perbankan
"Hal lain kami juga melakukan optimalisasi portofolio aset dengan mengoptimalkan aset dengan yield lebih tinggi." kata Herry.
Sementara Analis Samuel Sekuritas Suria Dharma menilai, likuiditas perbankan kian ketat lantaran sebagai dana masyarakat lari ke obligasi ritel yang diterbitkan pemerintah karena imbal hasil yang dijanjikan lebih tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News