kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Masalah Gagal Bayar Menggerus Eksistensi Industri Fintech P2P Lending


Senin, 12 Februari 2024 / 05:00 WIB
Masalah Gagal Bayar Menggerus Eksistensi Industri Fintech P2P Lending
ILUSTRASI. Industri fintech peer to peer (P2P) lending masih menghadapi sejumlah prahara gagal bayar dan fraud.


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri fintech peer to peer (P2P) lending masih menghadapi sejumlah prahara yang berpotensi menggerus eksistensi perusahaan pinjaman online (pinjol) di Tanah Air.

PT Investree Radhika Jaya (Investree) baru-baru ini menghadapi permasalahan gagal bayar. Bahkan hingga Minggu (11/2), Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) Investree bertahan di level 16,44%. Angka ini jauh di atas ambang batas regulator sebesar 5%.

Tak hanya itu, ada pula dugaan fraud alias penggelapan dana yang dilakukan eks Direktur Utama Investree Adrian Gunadi yang belakangan ini mundur dari jabatannya di bulan Januari 2024 kemarin.

Selain mengundurkan diri, ada juga dokumen yang berisi pengakuan Adrian tentang dugaan pengalihan dana dari Investree ke rekening pribadi. Adrian juga menggunakan posisinya sebagai dirut kala itu sebagai penjamin dari perusahaan pribadinya.

Baca Juga: Begini Strategi Maucash Menekan Rasio Kredit Macet

PT iGrow Resources Indonesia (iGrow) yang kini berubah nama menjadi PT LinkAja Modalin Nusantara juga dihadapkan oleh kasus gagal bayar. Hingga hari ini, TWP90 iGrow berada di level yang sangat tinggi 46,56%.

Kasus gagal bayar ini bahkan berlanjut ke ranah hukum di mana para lender menggugat iGrow di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Salah satu gugatannya meminta iGrow untuk mengembalikan modal dan atau membayar kerugian material para penggugat setara atau lebih baik dari nilai keadaan semula sebesar Rp 3,19 miliar.

Namun pada 19 September 2023 lalu, hakim memutuskan perkara tersebut dicabut atas dasar permintaan dari para penggugat. Belakangan, iGrow kembali digugat persoalan gagal bayar oleh Cun Cun dan Hariyanto selaku lender di PN Jaksel. Disebutkan bahwa sidang pertama gugatan tersebut akan di mulai pada tanggal 19 Februari 2024.

Berikutnya masalah gagal bayar juga menimpa PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund). Hingga hari ini kondisi TWP90 pinjol yang fokus pada ekosistem pendanaan agrikultur tersebut berada di level 63,93%.

Sejumlah lender sudah tampak geram dan memutuskan untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Setidaknya tiga lender yang menggugat TaniFund atas perkara gagal bayar yang tercatat di PN Jaksel pada 18 Januari 2023.

Baca Juga: Intip Strategi Akseleran Jaga Rasio Kredit Macet di Bawah 1%

Diberitakan sebelumnya, bahwa hampir seluruh lender TaniFund sudah tidak lagi menerima imbal hasil dari perusahaan. TaniFund berdalih bahwa kegagalan panen petani menjadi pemicu gagal bayar.

Buntut kasus gagal bayar ini, membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan dan meminta TaniFund untuk melakukan perbaikan dengan menyelesaikan pendanaan dalam kategori macet tersebut.

“OJK sedang melakukan pendalaman atas adanya potensi fraud yang dilakukan oleh TaniFund,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman beberapa waktu lalu.

Menanggapi hal ini, Pengamat Teknologi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan persoalan gagal bayar di industri pinjol terjadi karena beberapa faktor. Pertama, kesalahan sistem dalam industri fintech P2P lending karena memberikan pinjaman konsumtif.

“Habis pakai kemudian peminjam kesulitan untuk mengembalikan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (11/2).

Baca Juga: OJK Memeriksa Isi Perjanjian Igrow dan Lender

Kedua, lanjut Heru, skoring kredit yang ditentukan perusahaan kurang bagus di mana semua orang bisa meminjam dan mendapatkan pinjaman dengan nilai beragam.

“Ketika itu dilakukan kita tidak bisa memilah atau memfilter mana yang memiliki kesanggupan untuk membayar, mana yang hit and run kemudian kabur setelah meminjam,” terangnya.

Ketiga, kata dia, perlu memperhatikan bunga walaupun OJK telah menetapkan bunga 0,3% per hari untuk pinjaman konsumtif namun dalam sebulan mencapai 9% dan setahun setahun 108%.

“Sehingga dengan bunga yang tinggi pengembalian orang juga sulit, gagal bayar pun terjadi,” kata Heru.

Heru mengungkapkan, ini menjadi akar permasalahan mengapa gagal bayar bisa terjadi. Selain itu, bila ada suntikan modal atau ekuitas kepada perusahaan ini sifatnya hanya jangka pendek.

Baca Juga: Tekan Kredit Macet, Ini yang Dilakukan Pemain Fintech P2P Lending

“Tapi ketika hal yang sama dilakukan keuangan mereka juga akan tergerus, gagal bayar akan tetap terjadi sehingga perlu mencari solusi dari akar permasalahan yang ada,” ungkapnya.

Heru menyebut, dari modal baru yang didapatkan perusahaan kerap dianggap pemodal untuk bakar uang sehingga perusahaan membutuhkan pendanaan baru.

“Memang secara strategi ini bisa menjadi solusi juga tapi dalam jangka panjang ini tidak bisa dilakukan karena tentunya pemilik saham (pemodal) protes juga karena saham mereka tergerus sementara penggunaannya uang tersebut untuk dibakar dan terjadi gagal bayar,” tandasnya.

Sementara itu, Heru menambahkan, OJK tentu perlu mengatur bagaimana pemilihan manajemen perusahaan. Ini untuk melihat rekam jejak sang pemimpin perusahaan P2P lending.

“Kalau pemilihan harus mendapat persetujuan dari OJK tentu tidak bersifat like or dislike tetapi harus dilakukan secara profesional. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, kalau kita lihat proses di OJK enggak mudah dan juga lama, secara mungkin P2P lending ini juga membutuhkan proses yang cepat,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×