Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas bank pelat merah yang telah merilis laporan keuangan mencatatkan penurunan pendapatan recovery pada kuartal III-2025.
Ambil contoh, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) yang mengalami penurunan pendapatan recovery sekitar 7,9% secara tahunan atau year on year (YoY) menjadi Rp 3,56 triliun. Hanya saja, recovery rate-nya secara tahunan naik dari 28,2% menjadi 31,2%.
Selanjutnya, PT Bank Mandiri Tbk secara bank only memiliki pendapatan recovery senilai Rp 4,68 triliun di sembilan bulan pertama 2025. Sebagai perbandingan, pada periode sama tahun sebelumnya, pendapatan recovery Bank Mandiri senilai Rp 4,99 triliun.
Dari sisi recovery rate-nya sendiri, bank berlogo pita emas ini memiliki rate yang cukup tinggi yaitu mencapai 96,2%. Hal tersebut mengalami kenaikan yang signifikan dari kuartal III/2024 yang hanya sekitar 52,6%.
Baca Juga: Kisi-Kisi Kinerja Terbaru BRI, Kuartal III-2025 Diproyeksi Ada Perbaikan
Berbeda dengan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) yang mencatatkan peningkatan pada pendapatan recovery secara tahunan. Nilai pendapatan recovery BTN dari aset-aset yang sudah di-write off senilai Rp 471 miliar atau naik sekitar 6,3%.
Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan berpendapat, pelemahan pendapatan recovery ini lebih disebabkan oleh terbatasnya aset yang bisa dijual serta kondisi pasar yang belum mendukung, bukan karena dampak dari realisasi hapus tagih (charge-off).
Trioksa menilai bahwa ruang untuk menjual aset recovery kini semakin sempit. “Sentimennya kemungkinan karena aset recovery yang bisa dijual semakin sedikit. Kondisi ekonomi saat ini membuat pasar penjualan aset melemah sehingga menurunkan pendapatan recovery,” ujarnya kepada kontan.co.id, Rabu (29/10).
Menurutnya, sejumlah bank memilih menahan penjualan aset agar bisa memperoleh harga yang lebih baik di kemudian hari. “Dari sisi bank, banyak yang menahan penjualan aset untuk mendapatkan harga optimal, terutama setelah ekonomi dan daya beli masyarakat membaik,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa penurunan pendapatan recovery tidak banyak dipengaruhi oleh realisasi hapus tagih. “Faktor utama bukan terdampak hapus tagih karena nilainya juga relatif kecil,” tambahnya.
Baca Juga: BSI Targetkan Emas Kelolaan Mencapai 53 Ton hingga 2030
Melihat kondisi tersebut, pertumbuhan pendapatan recovery secara umum diperkirakan akan melambat hingga akhir tahun. Pasalnya, jumlah recoverable assets juga semakin terbatas.
“Trennya ke depan akan cenderung melambat karena aset yang bisa direcovery makin sedikit,” ujarnya.
Ia menambahkan, bank perlu mulai mengoptimalkan proses recovery yang masih berjalan sambil memperkuat sumber pendapatan lain di luar bunga.
“Strategi yang harus dilakukan adalah mengoptimalkan proses recovery, meningkatkan diversifikasi pendapatan non-bunga, serta memperkuat kualitas kredit baru agar tidak menambah beban pencadangan di masa depan,” jelasnya.
Direktur Manajemen Risiko BTN Setiyo Wibowo menegaskan bahwa realisasi hapus tagih (charge-off) tidak secara langsung menjadi pendapatan. Namun langkah tersebut menata neraca dan mempercepat eksekusi pemulihan melalui penjualan agunan atau penagihan.
“Setiap realisasi kas pasca hapus tagih akan dicatat sebagai pendapatan recovery sesuai ketentuan akuntansi yang berlaku. Jadi efeknya tidak langsung, tetapi membantu percepatan recovery,” kata Setiyo.
Lebih lanjut Setiyo menerangkan, faktor pendorong peningkatan pendapatan recovery ini ditopang oleh penguatan tim penjualan aset (asset sales) di seluruh wilayah, pemanfaatan data analytics, serta perluasan kemitraan dengan berbagai pihak.
“Secara ringkas, kenaikan pendapatan recovery BTN di kuartal III didorong oleh tiga hal: penguatan tim asset sales di seluruh wilayah, penerapan data analytics untuk recovery, dan kemitraan multi-partner sebagai agen penjual maupun investor,” ujar Setiyo.
Baca Juga: Bank Victoria International (BVIC) Cetak Laba Rp127,78 Miliar per Kuartal III 2025
BTN disebut memperkuat fungsi regional asset sales agar proses kurasi aset, penetapan strategi harga, serta eksekusi penjualan—baik ritel maupun bulk—berjalan lebih cepat dan seragam.
Selain itu, BTN juga mengimplementasikan data analytics untuk memetakan propensity to pay/sell, menentukan prioritas aset dengan NPV tertinggi, serta menemukan harga yang lebih presisi (price discovery).
“Kami juga memperluas kemitraan dengan balai lelang, agen properti nasional maupun daerah, serta investor sekunder. Dengan begitu, jangkauan pembeli semakin luas dan waktu konversi aset menjadi kas (time to cash) bisa lebih singkat,” jelasnya.
Setiyo menyebut, pendapatan recovery memberikan kontribusi pada peningkatan pendapatan non-bunga BTN. Selain itu, aktivitas ini juga memperbaiki kualitas aset, menekan rasio kredit bermasalah (NPL/LAR), dan menurunkan cost of credit atau CKPN.
“Secara keseluruhan, recovery berdampak positif terhadap profitabilitas dan memberi ruang bagi ekspansi pembiayaan yang lebih sehat dan prudent,” jelasnya.
Pihaknya pun berkomitmen menjaga momentum positif hingga akhir 2025. Perseroan akan mereplikasi playbook asset sales di seluruh wilayah, memperdalam analisis data untuk prioritas pipeline kuartal IV, serta memperluas jaringan mitra lelang, agen, dan investor.
Baca Juga: BRI Siap Salurkan BLTS Kesra Kepada 35 Juta Keluarga Penerima Manfaat
“Kami tetap disiplin terhadap governance dan compliance, menjaga kualitas penjualan berbasis appraisal independen, serta mempercepat turnaround time. Kami optimistis tren positif recovery berlanjut hingga akhir tahun,” pungkas Setiyo.
Sementara di jajaran bank swasta, PT Bank Central Asia (BCA) menyampaikan, pada prinsipnya, penghapusbukuan kredit (write-off) dilakukan secara selektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ke depan, BCA optimistis dalam penyaluran kredit dengan mempertimbangkan prinsip kehati-hatian, sehingga kualitas pinjaman tetap terjaga.
“Sementara itu, kami mencatat bahwa penyelesaian aset bermasalah sudah sesuai dengan target dan timeline yang ditetapkan perseroan serta dilaksanakan sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku,” kata Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn.
BCA disebut terus mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk menjaga kualitas kredit dan mengelola risiko non-performing loan (NPL) secara optimal.
Sejalan dengan hal tersebut, BCA disebut Hera terus meningkatkan KYC (Know Your Customer), memperkuat proses analisis kredit dengan memperhatikan scoring/rating, dan melakukan monitoring secara berkala dan mendalam guna menjaga kualitas portofolio kredit yang disalurkan.
Selanjutnya: GoTo Gojek Tokopedia (GOTO) Catat Rugi Bersih Turun 82,01% per Kuartal III-2025
Menarik Dibaca: Bagaimana Cara Menyembuhkan Trauma Masa Lalu? Intip Caranya di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













