Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi akuisisi bank-bank kecil masih terus berlanjut. Maklum, bank-bank umum di Tanah Air (kecuali Bank Pembangunan Daerah) tinggal punya waktu enam bulan lagi untuk memenuhi aturan modal inti minimum sebesar Rp 3 triliun.
Terbaru, PT Astra Internasional Tbk (ASII) akan jadi investor baru PT Bank Jasa Jakarta (BJJ). ASII lewat Asra Financial akan mengakuisisi 1.138.088 lembar saham baru yang akan diterbitkan BJJ yang mewakili 49,56% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh dengan nilai transaksi Rp 3,87 triliun.
WeeLab Sky Limited yang sudah mengakuisisi 24% saham BJJ sebelumnya akan menambah kepemilikannya lewat penerbitan saham baru BJJ tersebut. Astra Financial dan WeeLab saat ini telah memiliki kongsi dalam mengembangkan bisnis fintech di Indonesia, yaitu PT Astra WeLab Digital Arta, pengelola aplikasi pinjaman online Maucash.
BJB tercatat memiliki modal inti Rp 2,1 triliun per Maret 2022. Total asetnya mencapai Rp 7,32 triliun dengan portofolio kredit Rp 2,4 triliun.
Baca Juga: Genjot Kredit, Bank Raya (AGRO) Optimalkan Cabang dan Gandeng Fintech P2P Lending
Sebelumnya, PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS) juga telah mengumumkan akan melakukan pergantian pengendali. Kasikorn Vision Financial (KVF), unit usaha dari Kasikornbank asal Thailand, akan jadi pemegang saham utama bank ini.
Berdasarkan prospektus yang diterbitkan Bank Maspion dikutip Selasa (5/7), perseroan akan melakukan rights issue dengan menerbitkan 4,176 miliar saham dengan nominal Rp 100 per lembar yang seluruhnya akan diserap oleh KVF dan publik.
Sebelum rights issue, KVF akan mengakuisisi 1,33 miliar saham Bank Maspion dari pemegang saham eksisting atau setara 30,01% dari modal ditempatkan dan disetor penuh.
Dengan asumsi publik tidak mengambil haknya, KVF akan memiliki 5,37 miliar saham Bank Maspion atau setara 62,44%. Sementara Kasikornbank yang saat ini memiliki saham 9,9% akan turun menjadi 5,87%. Mengutip laporan Bloomberg, Senin (30/9), Kasikorn Vision Financial berencana menginvestasikan US$ 220 juta atau sekitar Rp 3,2 triliun.
BMAS tercatat memiliki aset sebesar Rp 14,32 triliun per Maret 2022 dengan outstanding kredit Rp 8,04 triliun. Modal inti bank ini pada periode tersebut baru mencapai Rp 1,29 triliun.
Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) telah merampungkan akuisisi 63,92% saham Bank Mayora atau sebanyak 1,19 miliar lembar saham dengan nilai Rp 3,5 triliun.
Baca Juga: Bank Sinarmas Luncurkan Layanan Prioritas Digital
Dalam materi paparan kinerja BNI kuartal I 2022, nilai transaksi akuisisi Bank Mayora disebutkan dilakukan dengan price to book value (PBV) multiple 2x. Setelah penempatan dana maka PBV multiple menjadi 1,3x.
Bank Mayora tercatat memiliki aset Rp 9,15 triliun per Maret 2022 dengan total kredit Rp 3,36 triliun. Modal inti bank ini mencapai Rp 1,23 triliun.
Adapun PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek Group) melalui anak usahanya Elang Media Visitama (EMV) mengakuisisi 93% saham Bank Fama atau 9,08 miliar lembar dengan harga Rp 100 per sehingga totalnya mencapai Rp 908,95 miliar pada 22 Desember 2021.
Selanjutnya, Bank Fama melakukan penerbitan saham baru pada Januari 2022 yang menjadi pintu masuknya investor baru. Grab Holdings Limited (Grab) dan Singtel Alpha Investments Pte masing-masing membeli 16,26% saham Bank Fama dengan nilai Rp 500 miliar. Alhasil, kepemilikan saham EMV berkurang 62,76%.
PT FinAccel Teknologi Indonesia (induk Kredivo) secara total menggelontorkan Rp 3,28 triliun untuk menguasai 2,48 miliar atau 75% saham PT Bank Bisnis Internasional Tbk. Transaksi dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama, mencaplok 24% saham senilai Rp 551 miliar. Kedua, mengakuisisi 16% lagi atau sebanyak 484,2 juta saham dengan harga Rp 908 per saham.
Ketiga, mengeksekusi seluruh haknya saat BBSI menggelar rights issue pada November 2021 dengan menerbitkan saham baru sebanyak 280.721.568 lembar dengan harga Rp 3.510 per saham. Sebagai pemegang 40% saham Bank Bisnis kala itu, fintech tersebut mengeksekusi haknya sebanyak 112.288.627 saham HMETD.
Keempat, mengakuisisi 1,15 miliar saham dari pemilik saham eksisiting atau setara 35% modal ditempatkan dan disetor pada kuartal II 2022 dengan harga Rp 1.646 per lembar saham.
Lalu bank mana yang paling murah dalam rangkaian transaksi akuisisi tersebut?
Suria Darma Kepala Riset Samuel Sekuritas menjelaskan, untuk melihat mahal atau murahnya transaksi akuisisi di perbankan adalah dengan menggunakan rasio harga terhadap nilai buku atau price to book value (PBV).
Namun, untuk bank-bank kecil, investor tidak terlalu fokus berpatokan pada PBV. Menurutnya, tak jadi masalah jik membayar akuisisi bank kecil dengan PBV lebih mahal karena ukurannya juga kecil. Selanjutnya, bank tersebut juga masih besar ruangnya untuk melakukan penambahan modal lagi.
"Sementara untuk bank-bank besar, PBV sangat penting. Karena ke depannya belum tentu bank akan melakukan penambahan modal lagi. Jadi akuisisi bank kecil relatif tidak melihat murah atau tidaknya. Apalagi tidak banyak juga bank kecil yang mau dibeli, saat ini sudah terbatas," kata Suria pada KONTAN, Selasa (5/7).
Senada, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyebutkan bahwa PVB merupakan indikator yang biasanya yang dipakai untuk melihat mahal atau murahnya sebuah bank.
Namun, dalam akuisisi, ia melihat bahwa PBV tidak jadi ukuran mutlak untuk melihat murah atau mahal. "Masing-masing akuisisi ada nilai strategisnya, nilai perusahaan dan potensi bisnisnya. Jadi tidak bisa diukur dari satu sisi saja, banyak aspek yang harus tetap diperhatikan dalam membuat keputusan akuisisi," jelasnya.
Sementara Ekonom yang juga pakar keuangan dan pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menyebutkan bahwa PBV tetap merupakan salah satu indikator yang diperlukan dalam mengukur harga bank saat melakukan transaksi akuisisi. Jika harga akuisisi di atas PBV maka wajar kalau bank dikatakan mahal atau kalau di bawah wajar disebut murah.
"Dari transaksi yang sudah terjadi dua tahun terakhir, harus dilihat satu per satu kasusnya yaitu PBV sebelum akuisisi dan setelah akuisisi. Untuk akuisisi Bank Mayora, kalau benar PBV 2x sebelum transaksi dan 1,3x setelah akuisisi maka confirm itu bisa dikatakan mahal," papar Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News