Reporter: Ferry Saputra | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo) menyampaikan perusahaan penjaminan dapat menerapkan sejumlah upaya untuk meminimalkan risiko tingginya tingkat kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) kredit segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Asal tahu saja, data Bank Indonesia (BI) mencatat tingkat kredit macet atau NPL kredit segmen UMKM masih terbilang tinggi sebesar 4,46% per September 2025. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari posisi Desember 2024 yang sebesar 3,76%.
Sekretaris Jenderal Asippindo Agus Supriadi mengatakan perusahaan penjaminan perlu meningkatkan analisis kredit yang lebih komprehensif dan berbasis data untuk menilai kemampuan bayar debitur UMKM dan menerapkan sistem monitoring yang ketat untuk deteksi dini potensi gagal bayar.
"Selain itu, mengoptimalkan penggunaan teknologi, seperti big data dan machine learning, untuk penilaian risiko yang lebih akurat," ungkapnya kepada Kontan, Selasa (4/11/2025).
Baca Juga: Tumbuh 1,94%, Aset Perusahaan Penjaminan Mencapai Rp 48,83 Triliun per Agustus 2025
Agus juga menerangkan perusahaan penjaminan juga perlu menjaga solvabilitas dengan memastikan kecukupan modal untuk menutup potensi klaim penjaminan, antara lain lewat pendekatan proaktif dan berbasis risiko.
Lebih lanjut, Agus bilang diversifikasi portofolio penjaminan juga perlu dilakukan untuk mengurangi konsentrasi risiko pada sektor tertentu. Ditambah, meningkatkan kolaborasi dengan bank dan lembaga keuangan untuk mendapatkan data dan analisis yang lebih baik terkait kualitas kredit UMKM.
"Penjaminan juga perlu memberikan pendampingan kepada UMKM untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mereka dalam mengelola keuangan dan bisnis," tuturnya.
Baca Juga: OJK Dorong Spinoff Unit Usaha Syariah (UUS) di Industri Penjaminan
Meskipun risiko kredit macet UMKM tinggi, Agus menilai segmen produktif tetap vital bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, perusahaan penjaminan dapat mempertimbangkan strategi diversifikasi produk dan penjaminan yang lebih selektif, tetapi tidak sepenuhnya beralih ke segmen nonproduktif.
"Perusahaan penjaminan juga perlu menyesuaikan syarat dan ketentuan penjaminan agar lebih sesuai dengan risiko yang dihadapi UMKM. Selain itu, dapat juga mengusahakan peningkatan premi penjaminan untuk segmen yang lebih berisiko guna mencerminkan potensi kerugian," kata Agus.
Mengenai kinerja industri penjaminan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat aset penjaminan mencapai Rp 48,83 triliun atau bertumbuh sebesar 1,94% secara Year on Year (YoY) per Agustus 2025. Adapun nilai imbal jasa penjaminan yang dibukukan sebesar Rp 5,12 triliun, atau terkontraksi sebesar 11,91% secara YoY.
Baca Juga: OJK Catat Peralihan Fokus Bisnis Penjaminan dari Segmen Produktif ke Nonproduktif
Selanjutnya: Melonjak 41%, Charoen Pokhpand (CPIN) Raup Laba Rp 3,36 Triliun per September 2025
Menarik Dibaca: Oppo Find X9 Ultra Pakai Baterai Sel Ganda yang Lebih Besar dari Find X8 Ultra
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













