Sumber: Reuters | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - LONDON. Penetrasi pinjaman bank di Indonesia terhitung masih kecil. Hanya satu dari tiga orang dewasa yang memiliki rekening di bank.
Nilainya pun baru sekitar 34% dari PDB pada tahun 2015. Ini angka terendah di antara negara-negara Asia Pasifik menurut IMF.
Akibatnya, perusahaan fintech di negara ini yang menawarkan kredit dengan nilai hanya beberapa juta rupiah telah menikmati lonjakan pinjaman lewat platform pinjaman peer-to-peer (P2P).
Menyikapi hal itu OJK, Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santosa menegaskan akan ada peraturan baru untuk mengatur sektor teknologi keuangan. Perusahaan-perusahaan di sektor ini harus secara jelas menunjuk siapa yang bertanggung jawab kepada pelanggan.
"Berdasarkan undang-undang perlindungan pelanggan yang akan datang, kami akan meminta (perusahaan fintech) perihal akuntabilitas dan transparansi harga," katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada hari Jumat, pekan lalu.
Sebelumnya Reuters melaporkan bahwa OJK sedang mempertimbangkan untuk menetapkan batas suku bunga dan besarnya pinjaman yang ditawarkan oleh perusahaan fintech, dalam sebuah langkah yang bertujuan untuk meminimalkan risiko gagal bayar.
Kini terdapat lebih dari 300.000 orang meminjam dari perusahaan-perusahaan ini. Total penyaluran kredit mencapai Rp 3 triliun per Januari, dibandingkan Rp 247 miliar pada Desember 2016, menurut data dari OJK.
Ada 36 perusahaan fintech terdaftar yang beroperasi di Indonesia, dan 42 lainnya sedang dalam proses persetujuan, menurut OJK.
"Jika jumlah perusahaan menjadi besar, kami berpikir bahwa kami akan memiliki organisasi pengaturan sendiri," kata Santoso, menambahkan bahwa dia sedang mendiskusikan masalah ini dengan rekan-rekan di seluruh Asia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News