Reporter: Christine Novita Nababan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan rancangan peraturan terkait industri Badan Perkreditan Rakyat (BPR). Tidak tanggung-tanggung, wasit industri keuangan itu sekaligus meracik tiga Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) yang diyakini akan mendongkrak pertumbuhan bisnis industri BPR.
Ketiga RPOJK tersebut yakni tentang Sertifikasi Kompetensi bagi Direksi dan Dewan Komisaris BPR dan Bank Pembiayaan Rakyat berprinsip syariah (BPRS), lalu RPOJK mengenai Kegiatan Usaha dan Wilayah Jaringan Kantor BPR Berdasarkan Modal Inti, dan RPOJK soal Pemenuhan Ketentuan BPR dan Transformasi Badan Kredit Desa yang Dinyatakan Statusnya Sebagai BPR.
"Saat ini, ketiganya sedang dalam tahap rule making rule (permintaan tanggapan industri). Yang terkait manajemen risiko dan sertifikasi bagi direksi dan komisaris merupakan hal baru bagi BPR. Sebelumnya tidak diatur," tutur Heru Kristiyana, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan 4 OJK kepada KONTAN, Kamis (8/10).
Industri BPR memang menjadi salah satu fokus perhatian OJK. Harap maklum, pelaku usaha BPR bejibun. Per Juli 2015, jumlahnya bahkan mencapai 1.644 BPR. Sayangnya, sekitar 1.463 BPR di antaranya malah tercatat bermodal cekak atau kurang dari Rp 6 miliar. Hanya sebanyak 151 BPR memiliki modal antara Rp 15 miliar - kurang dari Rp 50 miliar dan 29 BPR lainnya bermodal lebih dari Rp 50 miliar.
Di sisi lain, pertumbuhan bisnis BPR relatif lambat. Lihat saja, per Juli 2015, kreditnya cuma tumbuh 11,3% secara tahunan atau menjadi Rp 73,79 triliun. Labanya bahkan turun tipis dari Rp 1,5 triliun pada Juli 2014 lalu menjadi hanya Rp 1,4 triliun pada periode yang sama tahun ini.
"Bisnis tahun ini tertekan perlambatan pertumbuhan kredit, kenaikan biaya dana, serta kualitas kredit yang turun," terang Joko Suyanto, Ketua Umum Perbarindo beberapa waktu lalu.
OJK melansir, berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia per Juli 2015, rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan/NPL industri BPR tembus ke level 6% dari 5,2% pada periode yang sama tahun lalu. Angka ini melampaui batas maksimum yang diperkenankan oleh Bank Indonesia, yakni 5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News