Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait tarif resiprokal mulai diantisipasi perbankan. Mengingat, kebijakan Trump tersebut secara tidak langsung bisa memberikan dampak terhadap adanya risiko kredit macet di perbankan, terutama sektor yang berkaitan dengan aktivitas ekspor dan impor.
Meski risiko tersebut belum muncul, rasio loan at risk (LaR) perbankan sedang meningkat. LaR perbankan pada Maret 2025 berada di level 9,86%, naik dari bulan sebelumnya 9,77%.
Namun, ada perbaikan dari sisi kredit macet. Non performing loan (NPL) gross perbankan di periode tersebut sekitar 2,17% dan NPL net berada di level 0,80%. Sebagai perbandingan, pada bulan sebelumnya, NPL gross perbankan ada di level 2,22% dan NPL net di bulan sebelumnya ada di level 0,81%.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, dengan adanya kebijakan ini memang diperlukan ketahanan untuk menjaga industri-industri yang memiliki risiko. OJK juga telah melakukan identifikasi.
Baca Juga: Laju Pertumbuhan Kredit Perbankan Melambat Signifikan, Gubernur BI Ungkap Pemicunya
Dari hasil identifikasi tersebut, Mahendra menyebutkan, ada risiko tertentu kepada industri-industri yang tergolong padat karya. Mulai dari produk-produk tekstil, alas kaki, elektronik, mainan, dan sedikit banyak di makanan minuman.
“Mereka memiliki pangsa pasar yang besar untuk ekspor ke Amerika Serikat,” ujar Mahendra, Kamis (24/4).
Hanya saja, ia optimistis, pemerintah tentu sudah memiliki strategi untuk menjaga industri tersebut ke depannya. Ia yakin pemerintah akan menjaga iklim usaha dari industri-industri itu tetap bisa bertahan di tengah kondisi saat ini.
CEO Citi Indonesia Batara Sianturi mengatakan, saat ini pihaknya sudah melakukan stress test terhadap nasabah-nasabah yang memiliki risiko terdampak dari kebijakan AS ini. Terkhusus, eksportir untuk AS maupun China.
Menurut Batara, tiap sektor maupun klien memiliki risiko yang berbeda-beda. Oleh karenanya, Citi Indonesia melakukan risk assessment untuk tiap klien satu demi satu.
“Contoh kalau ekspor mereka dominan ke AS dan GDP AS turun dari 2,8% ke 1%, tentu ada dampak ke permintaan,” ujar Batara.
Citi Indonesia juga terus mengikuti negosiasi yang sedang berlangsung antara Indonesia dengan AS. Menurutnya, akan lebih bijak jika menunggu kejelasan dari dinamika perang tarif ini.
“Setelah kejelasan tercapai, kami bisa menilai sektor mana yang terdampak dan nasabah mana yang paling berisiko,” tambahnya.
Adapun, per 2024, Citi memiliki NPL gross di 0%. Pada tahun lalu, Citi telah melakukan equity provision yang membuat NPL Citi pun juga turun dari tahun 2023 yang berada di level 3,4%.
Baca Juga: Bos OJK Sebut Rasio Kredit Bermasalah Perbankan Kian Membaik
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja bilang, kebijakan Trump memang berpotensi mempengaruhi sejumlah sektor industri yang dominan melakukan ekspor ke AS, seperti furniture, udang, ikan laut, hingga pakaian.
Namun, Jahja menegaskan, BCA tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan, terkhusus dalam hal pembiayaan terhadap sektor-sektor tersebut. Ia lebih berharap proses negosiasi terkait kebijakan tarif ini berjalan mulus.
“Jadi kita harapkan kalau semua berjalan sesuai dengan strategi yang disusun oleh pemerintah kita, maka kemungkinan nggak akan terlalu memengaruhi industri-industri yang saat ini paling terkena dampak dari tarif tersebut,” ujar Jahja.
Sebagai informasi, pada tiga bulan pertama tahun ini, BCA memiliki rasio LAR di level 6%. Catatan tersebut lebih tinggi dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang berada di level 5,3%.
Selanjutnya: Harga Emas Terkoreksi Setelah Cetak Rekor, Analis: Masih Potensi Naik di 2025
Menarik Dibaca: BD & RDK Dharmais Sediakan Skrining Kanker Serviks Metode Pengambilan Sampel Mandiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News