Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri perbankan tampak terseret negosiasi perang dagang yang dilancarkan Amerika Serikat baru-baru ini. Pasalnya, AS menilai sejumlah regulasi yang diterapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagai salah satu hambatan perdagangan AS di Indonesia.
Laporan Penilaian Hambatan Perdagangan Nasional 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) akhir Maret 2025 menyebut POJK Nomor 12 Tahun 2021 sebagai salah satu hambatan perdagangan AS.
“Berdasarkan Peraturan OJK No. 12/POJK.03/2021, OJK meningkatkan batas ekuitas asing untuk bank komersial menjadi 99% dengan penilaian sebelumnya dari unit pengawas perbankan di OJK,” tulis laporan tersebut.
Mengenai hal ini, Senior Vice President Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan menilai, OJK telah melakukan langkah yang tepat dengan menetapkan aturan tersebut.
“Menurut saya bila mengikuti keinginan AS maka akan meningkatkan risiko bila ada investasi asing tapi tanpa ada penilaian terlebih dahulu oleh regulator indonesia,” ujar Trioksa kepada Kontan, Selasa (22/4).
Baca Juga: Akuisisi Kian Sepi, Begini Kinerja Bank Milik Investor Asing di Indonesia
Maka menurut Trioksa, OJK harus tetap mempertahankan aturan tersebut demi memperkuat industri perbankan Indonesia.
Namun kata dia, Indonesia juga tak semestinya harus menutup diri akan investasi asing ini. Sebab bagaimanapun, aliran investasi asing mampu memperkuat aspek permodalan perbankan di Indonesia selama investor asing memiliki komitmen untuk memperkuat perbankan indonesia.
Selain itu, “Perlu juga ada asas timbal balik bagi investasi Indonesia di negara asal bank tersebut untuk menegaskan bahwa indonesia memiliki posisi yg sama,” tambahnya.
Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda juga berpandangan serupa. Kata dia, regulator perbankan Indonesia mesti tegas soal kepemilikan asing sebab ekonomi Indonesia masih membutuhkan peran lebih dari perbankan.
“Maka apa yang dilakukan oleh OJK sudah tepat dengan membatasi ruang gerak bank asing di dalam negeri. Kebijakan terkait moneter ini tidak boleh full support asing, harus ada pembatasan dan persyaratan dari regulator,” kata dia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan, hingga Desember 2024, pangsa pasar bank asing dan kantor cabang bank asing di Indonesia baru mencapai sebesar 24,96%. Angka ini meningkat dari sebesar 24,70% pada Desember 2023 dengan kontribusi pada penyaluran kredit mencapai sebesar Rp1.724,48 triliun atau 22,03% dari total penyaluran kredit perbankan Indonesia.
Selain itu, penghimpunan DPK mencapai sebesar Rp1.920,58 triliun atau 21,73% dari total penghimpunan DPK perbankan nasional.
“Hal tersebut menunjukkan ruang partisipasi bank asing di Indonesia masih sangat terbuka untuk berkontribusi pada industri perbankan di Indonesia sesuai dengan risk appetite investor asing yang masih tinggi, sejalan dengan kebutuhan foreign direct investment (FDI) dan peningkatan likuiditas valas di Indonesia,” ujar Dian beberapa waktu lalu.
Menilik kinerja sejumlah cabang bank asing di Indonesia seperti Citibank Indonesia dan Standard Chartered dalam lima tahun terakhir, keduanya tampak membukukan kinerja yang cukup baik.
Misalnya Citibank Indonesia. Melansir laporan keuangan sepanjang tahun 2024 (22/4), total asetnya naik 2,4% yoy sebesar Rp 87,65 triliun dari tahun 2023 sebesar Rp 85,55 triliun. Begitupun laba bersihnya yang naik 3,3% yoy menjadi 2,59 triliun dari sebelumnya Rp 2,5 triliun.
Namun, penyaluran kreditnya tampak merosot 24% yoy dari sebelumnya Rp 36,4 triliun pada 2023 menjadi hanya Rp 27,38 triliun pada 2024. Akan tetapi, DPK-nya masih naik 2% yoy menjadi Rp 55,78 triliun dari sebelumnya Rp 54,79 triliun.
Mundur lebih jauh lagi, total aset Citibank tampak fluktuatif. Misalnya tahun 2020, tercatat Rp 87,929 triliun, tahun 2021 turun menjadi 85,58 triliun, dan tahun 2022 naik menjadi Rp 97,84 triliun.
Perolehan laba bersihnya juga sama fluktuatifnya. Tahun 2020 tercatat 2,6 triliun, turun di tahun 2021 menjadi Rp 1,07 triliun, kemudian naik kembali pada tahun 2022 menjadi Rp 1,38 triliun.
Namun, penyaluran kreditnya terlihat terus merosot. Di tahun 2020, Citibank telah menyalurkan kredit sebesar Rp 40,68 triliun, tetapi turun pada 2021 menjadi Rp 41,10 triliun, dan menurun lagi pada 2022 menjadi hanya Rp 39,77 triliun.
Pada total DPK, nilainya tercatat naik dari Rp 59,38 triliun pada 2020, menjadi Rp 63,96 triliun pada 2021, dan naik lagi menjadi Rp 74,18 triliun pada 2022.
Terbaru di bulan Januari tahun ini, aset Citibank naik 13% yoy menjadi Rp 99,44 triliun dari sebelumnya Rp 88 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya.
Labanya naik siginifikan sebesar 27,6% yoy sebesar Rp 261 miliar dari posisi Rp 204 miliar di tahun sebelumnya. Begitu pula pada total DPK yang ikut naik 14,2% yoy dengan total Rp 64,93 triliun dari sebelumnya Rp 56,85 triliun.
Namun, penyaluran kreditnya terlihat turun sebesar 13,6% menjadi hanya Rp 29,21 triliun. Padahal sebelumnya tercatat Rp 33,85 triliun.
Di bulan berikutnya, aset Citibank Indonesia tercatat naik 10,4% yoy sebesar Rp 94,84 triliun dari sebelumnya Rp 85,89 triliun di periode sama tahun sebelumnya.
Laba bersihnya juga naik 17,3% yoy menjadi Rp 504 miliar dari sebelumnya Rp 429 miliar. Begitu pula total DPK-nya tumbuh 11,5% yoy menjadi Rp 61,15 triliun dari sebelumnya Rp 54,84 triliun di periode yang sama.
Namun, penyaluran kredit Citibank tampak menurun 8,8% yoy di Februari tahun ini menjadi hanya Rp 28,93 triliun dari sebelumnya Rp 31,76 triliun.
Total DPK-nya masih tumbuh 11,5% yoy menjadi Rp 61,15 triliun dari sebelumnya Rp 54,84 triliun.
Selanjutnya ada Standard Chartered. Sepanjang tahun 2024, bank asal Inggris ini mencetak kenaikan aset 6% yoy, yakni sebesar Rp 89,09 triliun dari sebelumnya Rp 84,01 triliun pada 2023.
Baca Juga: Investor Asing Kian Sepi Masuk Ke Industri Perbankan Indonesia
Total asetnya berturut-turut naik dari tahun 2020 sebesar Rp 64,62 triliun, menjadi Rp 69,33 triliun pada 2021, dan naik lagi menjadi Rp 83,46 triliun di tahun 2022.
Kredit yang disalurkan juga melesat 7,6% yoy pada tahun 2024 sebesar Rp 35,7 triliun dari sebelumnya Rp 33,16 triliun pada tahun 2023. Nominalnya juga berturut-turut naik sejak 2020 yang sebesar Rp 21,65 triliun, naik menjadi Rp 25,46 triliun pada tahun 2021, dan naik lagi menjadi Rp 29,38 triliun di tahun 2022.
Pada total DPK, Standard Chartered juga mencatat kenaikan sebesar 5,6% yoy sebesar Rp 49,22 triliun pada 2024. Sebelumnya di tahun 2023, angkanya sebesar Rp 46,6 triliun. Dari tahun 2020, 2021, hingga 2022, nominalnya terus tumbuh yakni dari Rp 33,52 triliun, menjadi Rp 37,4 triliun, dan naik lagi menjadi Rp 45,6 triliun.
Adapun di Januari tahun ini, Standard Chartered Indonesia mencatat kinerja yang kurang memuaskan. Perolehan labanya merosot tajam 75% yoy menjadi hanya Rp 50,93 miliar dari sebelumnya Rp 204,57 miliar di Januari tahun 2023.
Ini diikuti oleh total DPK yang turun 14,7% yoy menjadi sebesar Rp 48,46 triliun dari Rp 56,83 triliun.
Penyaluran kreditnya juga ikut longsor 12,7% yoy menjadi hanya sebesar Rp 29,53 triliun yang dari sebelumnya Rp 33,85 triliun.
Akan tetapi, asetnya tampak naik 3,7% yoy menjadi Rp 91,26 triliun dari posisi Rp 88 triliun pada Januari tahun 2024.
Terbaru di Februari 2025, kinerjanya kompak membaik. Tercatat, asetnya meningkat 7,2% yoy total Rp 95,2 triliun dari Rp 88,77 triliun di Februari tahun 2024.
Bahkan, labanya melonjak 47% yakni sebesar Rp 107,97 miliar dari sebelumnya hanya mencetak Rp 73,37 triliun.
Kredit yang disalurkan juga ikut naik 11,3% yoy sebesar Rp 29,96 triliun dari posisi 26,9 triliun di periode sama tahun sebelumnya.
Adapun total DPK juga ikut naik sebesar 3,9% yoy menjadi sebesar Rp49,22 triliun dari posisi Rp 47,37 triliun.
Baca Juga: Kepemilikan Asing Di Saham Bank Jago (ARTO) Naik Jadi 37,4% pada Maret 2025
Selanjutnya: Dana Kelolaan (AUM) Reksadana Naik Tipis, Investor Beralih ke Instrumen Lebih Aman
Menarik Dibaca: Promo Bakmi GM hingga 30 April, Beli Paket Nikmat Gratis Pangsit Goreng Renyah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News