Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Keputusan Bank Indonesia (BI) melonggarkan penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 55 tentang Pengakuan dan Pengukuran Instrumen Keuangan memang melegakan bankir.
Namun, bankir masih mengkhawatirkan muncul masalah selama masa transisi yang berlangsung hingga 31 Desember 2011. Sebab, dalam masa transisi ini, BI memberikan tanggungjawab ke akuntan publik untuk menilai apakah bank yang mereka audit layak menikmati masa transisi PSAK 55.
BI memasang tiga syarat yang harus dipenuhi bank untuk menikmati masa transisi. Pertama, bank belum memiliki infrastruktur memadai untuk menerapkan PSAK 55. Kedua, bank belum memiliki data-data pendukung yang diperlukan, seperti data kerugian historis juga data transaksi dari sesama bank.
Ketiga, bank belum memiliki kompetensi untuk mengembangkan metodologi sesuai kondisi internalnya. Akuntan publik juga bertanggungjawab menilai kewajaran besarnya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang dibentuk bank.
Jika dalam proses audit itu akuntan publik menilai bank tidak berhak mengikuti masa transisi, maka auditor wajib membuat catatan, baik dalam laporan audit ataupun dalam management letter.
Inilah yang meresahkan bankir. "Ukuran pemenuhan syarat itu membuka celah argumentasi dan dispute antara auditee dan auditor," ungkap Direktur Bisnis Bank UOB Buana Safrullah Hadi Saleh, Senin (9/11).
Ia mengusulkan perlu ada kesepakatan yang tegas dan jelas antara BI, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI), juga Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK). Tanpa ada kejelasan, bankir khawatir bisa memperoleh opini audit selain wajar tanpa pengecualian. "Ini bisa menimbulkan masalah. Apalagi bagi bank yang sahamnya dijual di bursa," jelasnya.
Direktur Ritel Bank Mega Kostaman Thayib meminta BI tidak memasang syarat bagi bank untuk mengikuti masa transisi. "Kalau tidak mampu, mau dipaksakan juga tidak akan jalan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News