Reporter: Ahmad Ghifari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan perlindungan konsumen pinjaman fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sudaryatmo, Wakil Ketua YLKI mengatakan, tugas OJK cukup berat dalam hal ini. Menurut data dari YLKI, sekitar 40% pengaduan yang diterima YLKI itu sektor jasa keuangan dari Bank, fintech, asuransi, dan leasing. Sudaryatmo membandingkan dengan di Hongkong hanya 2%.
"Artinya, perlindungan jasa keuangan di Hongkong sudah bagus. Financial inklusinya sudah tinggi, kemudian perilaku industri sudah baik begitu juga dengan regulator," kata Sudaryatmo kepada Kontan.co.id, Selasa (29/10).
Baca Juga: Empat fakta mengenai Bank Royal, bank digital milik BCA
"Saat ini kita situasinya masih mencari bentuk, kita juga tidak tau ke depan akan seperti apa karena sangat dinamis sekali bisnis ini," tambahnya.
Sudaryatmo menyoroti, Industri fintech ini lebih cepat dari sisi regulasi, sedangkan dari sisi literasi masyarakat sudah namun menurutnya masih kurang. Sehingga bisnis ini masih dibilang masih harus banyak pembenahan karena banyak pengaduan.
"Ini tugas OJK yang tidak mudah dalam perlindungan konsumen. dalam konteks ini, yang paling penting adalah transparansi produk fintech,"jelasnya.
Baca Juga: Meski kecil, aset P2P lending syariah tumbuh pesat hingga kuartal III-2019
Laporan konsumen yang diterima YLKI justru lebih ke manfaatnya. Sudaryatmo juga menyoroti dari segi caping dan resikonya itu baru tau ketika pendapatan tagihan yang besar. Menurutnya, seharusnya besaran dan jenis tagihan itu diketahui konsumen sebelum memutuskan.
Kemudian ini juga merupakan tantangan dari segi regulasi. Menurut Sudaryatmo, OJK bilang yang bisa diakses ke konsumen yang hanya microphone, foto, lokasi dan foto. faktanya di YLKI antara fintech ilegal dan legal cara kerjanya itu sama.
"Ketika akses kontak tidak ada, konsumen dalam posisi yang sulit karena untuk masuk ke layanan, konsumen harus menyetujui,"katanya.
Dari sisi syarat dan ketentuan, ketika berisi unfair contract term, Sudaryatmo mempertanyakan siapa yang sebenarnya yang mengontrol. Karena apabila tidak ada yang mengontrol, fintech menjadi regulator. Karena yang dijadikan pegangan adalah syarat dan ketentuan.
Baca Juga: Hingga kuartal III-2019, pinjaman P2P lending tembus Rp 60 triliun
"Secara kelembagaan sudah menjadi masalah. yang mengawasi unfair contract term itu siapa. kementerian hukum dan HAM belum ada fungsi itu. menurut saya, OJK untuk sektor jasa keuangan itu yang masuk ke unfair contract term juga,"jelasnya.
Menurut Sudaryatmo fintech yang terdaftar dan berizin belum tentu ada perlindungan apalagi yang ilegal. Sudaryatmo bilang bagaiamana OJK memastikan bahwa konsumen fintech telah terinformasi tentang pengetahuan terhadap transparansi produk fintech.
"Industri fintech masih terbilang baru, OJK ini fungsinya menumbuhkan industri fintech dan melindungi konsumen. tapi ini tidak mudah, bagaimana fintech ini tumbuh tetapi konsumen terlindungi," katanya.
Baca Juga: Tahun depan Modalku bakal ekspansi ke pasar baru di Kawasan Asia Tenggara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News