Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyerapan likuiditas terhadap pembiayaan perbankan syariah mengalami perlambatan. Tercatat rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) bank syariah menurun dari 88,03% menjadi 86%.
Atas hal itu, bank syariah berbondong-bondong untuk lebih aktif mendorong pembiayaan dibanding menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK). PT Bank Syariah Mandiri (BSM) misalnya yang menyebut tahun ini akan menyasar sektor infrastruktur dan pembiayaan jangka panjang untuk menyerap likuiditas.
Pasalnya, Direktur Wholesale Banking BSM, Kusman Yandi mengatakan pihaknya memiliki kelebihan likuiditas sekitar Rp 17 triliun. "Likuditas kami hampir Rp 17 triliun. Sehingga pada prinsipnya ini pembiayaan harus tumbuh lebih tinggi dari dana," tutur Kusman pekan lalu.
Tahun ini, anak usaha syariah Bank Mandiri ini menarget dapat menyalurkan pembiayaan ke sektor infrastruktur mencapai Rp 5 triliun. Selain pembiayaan ke infrastruktur, BSM juga akan memperkuat pembiayaan ritel perseroan.
Senior Executive Vice President Retail Banking BSM, Niken Andonowarih mengatakan pihaknya mengincar pertumbuhan pembiayaan ritel 10% hingga 12% pada tahun ini. "Usaha kecil, mikro, konsumer, griya, gadai emas dan pensiunan kita akan tingkatkan untuk tumbuh tahun ini," imbuhnya.
Adapun realisasi pembiayaan ritel perseroan mencapai Rp 30,74 triliun atau tumbuh 8,2% secara year on year (yoy). Dengan asumsi target pembiayaan tersebut maka pembiayaan ritel BSM dipatok mencapai Rp 34,42 triliun di akhir tahun 2017.
Sebagai informasi saja, per akhir tahun lalu perseroan mencatatkan pertumbuhan pembiayaan mencapai Rp 55,6 triliun atau tumbuh 8,8%. Sementara itu DPK tumbuh 12,6% menjadi Rp 69,9 triliun dibanding pencapaian tahun sebelumnya Rp 62,1 triliun. Selain itu, tercatat FDR perseroan per akhir 2016 cukup rendah di level 81%, jumlah tersebut menurun jika dibandingkan akhir tahun 2015 sebesar 82%.
Bukan hanya BSM, PT Bank BNI Syariah juga mengalami penurunan penyerapan kredit, tercatat pada akhir tahun 2016 FDR perseroan berada di level 84,57%, jumlah tersebut menurun jauh dibandingkan tahun 2015 sebesar 91,94%.
Senior Executive Vice President Bisnis dan Komersial BNI Syariah, Dhias Widhiyawati mengatakan tidak hanya di akhir tahun lalu, per Januari 2017 FDR juga mengalami penurunan menjadi 81%.
Anak usaha PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) ini mengakui bahwa penurunan FDR ini diakibatkan penyaluran pembiayaan yang belum optimal.
Untuk itu, Dhias menyebut tahun ini perseroan akan menggenjot pembiayaan ke seluruh sektor khususnya infrastruktur, energi dan segmen kecil menengah terutama Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR). "Tahun ini kita fokus menjaga kualitas pembiayaan," katanya kepada KONTAN, Minggu (5/3).
Secara terpisah, Kepala Divisi Dana dan Transaksi BNI Syariah, Rima Permatasari mengungkap pihaknya akan tetap fokus mendorong pembiayaan sektor konsumer khususnya di pembiayaan griya. "BNI Syariah, sektor pembiayaan yang paling terserap adalah pembiayaan konsumer,khususnya Griya" ujar Rima.
Adapun per akhir 2016 tercatat penyaluran pembiayaan BNI Syariah mencapai sebesar Rp 20,49 triliun atau tumbuh 15,96%.
Dari angka tersebut, segmen penopang pertumbuhan masih dipegang oleh pembiayaan konsumer sebesar Rp 10,91 triliun. Dari keseluruhan pembiayaan konsumer BNI Syariah, sekitar Rp 9 triliun merupakan produk Griya perseroan. Sementara, DPK BNI Syariah naik tinggi 25,41% per akhir 2016 menjadi Rp 24,23 triliun.
Sementara PT Bank Syariah Bukopin (BSB) juga mengamini bahwa penyaluran pembiayaan perseroan masih cenderung rendah ketimbang pendanaan perseroan. Direktur Bisnis BSB, Aris Wahyudi menyebut FDR perseroan per akhir Desember 2016 mencapai 88%.
Atas hal itu, pihaknya mematok target FDR pada akhir tahun 2017 dii sekitar 95%. "FDR kita Desember 2016 sekitar 88% artinya pembiayaan masih kurang tinggi dibanding pendanaan kita," katanya.
Sekadar informasi, sepanjang tahun lalu BSB telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 4,8 triliun atau tumbuh 11,43% yoy. Adapun sektor pendorong pembiayaan terbesar terbesar adalah sektor pendidikan dan kesehatan.
Aris menambahkan, selain kedua sektor tersebut, sektor yang potensial bagi BSB antara lain perdagangan, kontraktor dan supplier. Lewat kelima sektor tersebut, tahun ini pihaknya optimis pembiayaan dapat tumbuh mencapai 23%. "Ekspansi pembiayaan harus kita lakukan namun tetap dengan menurun. Margin juga sudah sedikit menurun," katanya
Sementara dari sisi penghimpunan DPK hingga akhir Desember 2016 tercatat mencapai Rp 5,44 triliun atau naik 14,43%. Anak usaha PT Bank Bukopin Tbk ini mematok DPK dapat tumbuh mencapai 24%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News