Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan di tanah air masih membuka diri melakukan pembiayaan terhadap proyek-proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batubara. Sementara perbankan di Asia mulai menghindari pembiayaan di sektor itu sebagai bentuk dukungan terhadap kelestarian lingkungan.
Meski tetap terbuka, namun bank dalam negeri memilih untuk selektif dalam membiayai pembangkit listrik berbasis batubara tersebut. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) misalnya masih akan menyalurkan kredit ke proyek PLTU.
Baca Juga: Permudah pinjaman lewat BRISPOT, BRI targetkan kredit mikro tumbuh di atas 10%
"Tapi kami selektif. BNI terbuka untuk pembiayaan PLTU yang menggunakan teknologi USC yang ramah lingkungan," kata Rommel TP Sitompul, Pemimpin Unit Sindikasi BNI pada Kontan.co.id, Jumat (28/2).
Saat ini, BNI memiliki pipeline sindikasi untuk pembiayaan proyek PLTU berbasis teknologi USC. Rommel bilang, kesepakatan kredit itu akan terjadi di kuartal II mendatang.
Teknologi ultra super critical (USC) yang diterapkan dalam pembangkit listrik tenaga uang membuat pembakaran lebih efisien karena material dikonversikan dengan panas dan tekanan yang lebih tinggi. Pada kondisi ini, CO2 dan emisi gas lainnya akan berkurang akibat turunnya konsumsi batu bara.
Senada, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga tidak menutup diri dalam pembiayaan terhadap proyek PLTU, tetapi perseroan akan sangat selektif. "Kalau memang proyeknya bagus dan bersih, kami akan biayai. Jadi kami terbuka tetapi tergantung dengan skema pengembangannya," kata Royke Tumilaar, Direktur Utama Bank Mandiri.
Baca Juga: Dompet digital biaya transfer antar bank, begini strategi OY!
Royke mengatakan, kebutuhan listrik di Indonesia masih sangat besar. Jika tidak ada perbankan mau membiayai maka pemenuhan akan listrik akan susah direalisasikan. Oleh karena itu, Bank Mandiri akan tetap mendukung proyek kelistrikan di dalam negeri termasuk yang berbasis batubara.
Selama ini, bank pelat merah ini juga tercatat cukup banyak membiayai PLTU. Hanya saja, dia tidak menyebutkan outstanding kredit Bank Mandiri di sektor tersebut. Sementara rencana pembiayaan ke depan, bank ini belum memiliki pipeline di sektor pembangkit listrik berbasis batubara.
Pada Desember 2019 lalu, Bank Mandiri bersama dengan BNI dan BRI telah meneken kredit sindikasi sebesar Rp 5,07 triliun kepada PLN. Kredit tersebut akan digunakan PLN untuk membangun satu PLTU yaitu PLTU Sulawesi Selatan-Barru kapasitas 100 Megawatt (MW) dan 10 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG).
Berdasarkan laporan BlooombergNEF, Selasa (25/2) bank-bank di Jepang, Korea Selatan dan Singapura disebut telah menutup diri untuk melakukan pembiayaan terhadap pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batubara.
Baca Juga: Dana asing Rp 3,84 triliun kabur dari pasar saham dalam sepekan
Dalam beberapa tahun terakhir, bank-bank Asia telah bergabung dengan mitranya di Eropa dan Amerika dalam mengakui perlunya transisi dari batubara. Faktor-faktor yang mendorong transmisi itu termasuk energi terbarukan yang lebih murah, dan meningkatnya risiko aset yang terlantar dan biaya lingkungan.
Analis BNEF Allen Tom Abraham mengatakan tahun lalu menandai eksodus terbesar lembaga keuangan Asia dari investasi batubara termal baru.
Bank-bank regional diantaranya DBS Group Holdings Ltd, Oversea-Chinese Banking Corp dan Mitsubishi UFJ Financial Group telah mengumumkan rencana menghentikan pendanaan proyek pembangkit listrik batubara baru tahun lalu. Beberapa bank Jepang dan Korea Selatan mengatakan akan berhenti memberikan pinjaman ke pembangkit listrik dengan efisiensi rendah.
Baca Juga: Permudah transaksi para pengguna, simak sederet inovasi yang dilakukan Gopay
Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia dan Vietnam merupakan dua negara yang tengah gencar melakukan pembangunan PLTU. Sekitar setengah dari 41 Gigawatt proyek listrik yang diusulkan berbahan bakar bakar batubara belum mendapatkan pendanaan.
Sementara sebesar 20 gigawatt dalam pipa di dua negara itu telah mencapai penutupan finansial. Proyek itu membutuhkan modal senilai US$ 38 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News