Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
KONTAN.CO.ID - Dinna Proapto Raharja, Phd – Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional.
Danantara, Dana Anagata Nusantara, demikian nama Badan Pengelola Investasi termutakhir di Indonesia yang bermakna “kekuatan untuk masa depan Indonesia”. Danantara diluncurkan Presiden Prabowo pada 24 Februari 2025. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 8 persen per tahun, serta mengoptimalkan pemanfaatan aset negara demi membiayai aneka proyek berkelanjutan di sektor-sektor strategis: energi terbarukan, industri manufaktur, hilirisasi sumber daya alam, dan ketahanan pangan.
Menteri Investasi yang juga menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) Danantara mengungkap bahwa lembaga ini mengonsolidasikan seluruh aset 844 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia. Dengan demikian, kepemilikan maupun pengelolaan BUMN di Indonesia kini berada di tangan Danantara. Presiden Prabowo meyakini bahwa Danantara adalah solusi strategis untuk mengoptimalkan kinerja BUMN agar mampu bertransformasi menjadi pemimpin kelas dunia di sektor masing-masing. Danantara pun disebut-sebut sebagai Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia pada masa ini.
Sebagai rakyat, pengumuman tersebut mengajak kita untuk percaya bahwa pemerintah Indonesia mengambil jalan yang benar untuk bangsa dalam konteks politik ekonomi dunia masa kini. Namun, rasa percaya selayaknya tidak menghilangkan pemikiran kritis. Justru karena adanya konsolidasi seluruh aset BUMN, kita patut bertanya: mengapa konsolidasi semacam itu dilakukan? Termasuk ke dalam varian SWF yang seperti apa Danantara ini? Apa saja faktor yang akan menentukan nasib Danantara? Dan apa saja keuntungan, kerugian, dan risiko terkait investasi oleh lembaga investasi sekelas Danantara yang perlu dikenali publik?
Mengenal SWF dan Variannya
Dalam waktu belakangan ini, bukan cuma Indonesia yang tergerak untuk membentuk SWF. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pun mengeluarkan perintah pada tanggal 3 Februari 2025 untuk mendirikan SWF Amerika Serikat. Pembentukan SWF bukan hal yang baru, ini telah dilakukan banyak negara sejak 1990-an dengan berbagai motif.
Ada negara yang sadar bahwa kekayaan alamnya bukan hanya menjadi sumber pendapatan negara penting, tetapi juga warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang, Norwegia misalnya, dengan surplus perdagangan minyak buminya. Ada pula yang, meskipun segenap kebutuhan dasar warganya sudah relatif terpenuhi, diperlukan pengelolaan dana cadangan devisa negara secara khusus demi memperkuat pamor negara itu di tingkat global, seperti Singapura dan Korea Selatan. Sementara itu, ada juga negara yang membentuk SWF untuk mengelola aset-aset BUMN agar lebih berkelanjutan, contohnya Turki.
Dengan segala keragaman hal yang dikelola, SWF pada dasarnya dibuat untuk mendukung fiskal negara, artinya untuk memperkuat kas negara dalam membiayai tata kelola bangsa. Artinya, orientasi utama SWF bukanlah pada bukan profit jangka pendek untuk dapat segera dinikmati, melainkan pada pembenahan tata kelola sumber kekayaan negara dan transformasi sumber-sumber pendapatan negara. Tujuannya adalah menciptakan daya tarik yang lebih besar bagi pasar, sekaligus menjaga stabilitas sosial-politik dan sosial-ekonomi lintas generasi.
Itulah sebabnya, varian SWF kemudian diklasifikasi agar para investor dapat mengenali jenis-jenis risiko yang membedakan tiap varian. Karena negara yang pertama kali membentuk SWF biasanya mengelola dana surplus, maka SWF cenderung mencari proyek-proyek investasi jangka pendek yang minim risiko. Artinya proyek-proyek jangka panjang yang membutuhkan pelibatan banyak pihak akan cenderung dihindari.
Berdasarkan berbagai studi kebijakan dan klasifikasi yang umum digunakan, SWF dibedakan menjadi 5 tipe berdasarkan tujuannya:
- Stabilization Funds yang bertujuan menjaga agar anggaran negara tidak terganggu fluktuasi harga komoditas andalan negara tersebut.
- Savings Funds yang tujuannya mengonversi aset-aset berbasis sumber daya alam tak terbarukan menjadi beragam portofolio, agar aneka ekspor produk tambang tidak menurunkan kinerja sektor-sektor lain seperti manufaktur atau pertanian yang padat karya.
- Reverse Investment Corporations yang tujuannya menginvestasikan cadangan devisa berlebih ke aset-aset berisiko tinggi guna meningkatkan nilai cadangan tersebut.
- Pension Reserve Funds yang tujuannya mengelola kewajiban pembayaran pensiun dengan cara mencari surplus investasi dari pasar global,
- Sovereign Development Funds (SDF) yang bertujuan mendanai proyek-proyek dan kebijakan industrialisasi di dalam negeri.
Kekhasan tujuan SDF inilah yang perlu kita pahami lebih dalam, karena karakteristiknya lebih mendekati tujuan Danantara dibandingkan model-model SWF lainnya. SDF bertujuan mendorong investasi di dalam negeri, dengan mengajak investor masuk ke sektor-sektor penyedia sumber daya nasional melalui peran aktif pemerintah sebagai katalis. Artinya, pemerintah menggunakan Danantara sebagai kendaraan untuk mensponsori masuknya perusahaan dan negara-negara lain agar berproduksi di Indonesia.
Secara prinsip, fungsi SDF ini akan melengkapi sejumlah bentuk SWF lain yang telah lebih dahulu ada di Indonesia. Misalnya, untuk Pension Reserve Funds, kita sudah punya BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, dan ASABRI, yang mengelola tabungan dana pekerja dan menyalurkannya melalui investasi di pasar demi memperoleh surplus.
Indonesia juga punya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang mengelola pungutan ekspor minyak kelapa sawit sebesar 10%. Dana ini digunakan untuk membiayai revitalisasi perkebunan swadaya petani, hilirisasi industri, serta riset dan pengembangan ekonomi dan sosial di sektor kelapa sawit.
Selain itu Indonesia punya juga Indonesia Investment Authority (INA) yang dibentuk tahun 2021 untuk menarik investasi pada sektor-sektor prioritas seperti transportasi, logistik, layanan kesehatan, energi hijau dan ekonomi digital.
Dengan berbagai bentuk lembaga yang sudah ada, tampak bahwa Indonesia telah membangun ekosistem pengelolaan dana negara yang cukup beragam–dari dana pensiun, dana perkebunan, hingga otoritas investasi. Namun, secara praktik, kita patut bertanya: apa perbedaan antara INA dengan Danantara? Dalam berbagai kesempatan, pihak Danantara menjelaskan bahwa INA hanya berfungsi sebagai SWF, sementara Danantara, selain memiliki fungsi investasi pembangunan, juga memiliki fungsi manajemen aset. Dengan demikian, Danantara diklaim lebih jumbo dan memiliki cakupan fungsi yang lebih luas daripada INA.
Jawaban macam itu menimbulkan, setidaknya, tiga jenis ambiguitas.
Pertama, lembaga yang berskala jumbo justru berpotensi sulit bergerak dalam era yang menuntut banyak akselerasi tindakan. Beban perhatian lembaga yang jumbo, pastinya akan jumbo juga. Dalam konteks SWF, aset idealnya dikonversi untuk tujuan-tujuan komersial. Namun dalam konteks Indonesia, BUMN masih tersandera oleh persoalan manajemen yang buruk, indikasi korupsi, bahkan kerusakan aset. Kita bisa melihat contoh raibnya dana pensiun BUMN yang dikelola oleh empat Dana Pensiun, atau kondisi aset fisik seperti gedung, alat berat dan kendaraan operasional yang rusak. Apakah pembenahan tata kelola manajemen yang buruk ini otomatis diambil alih oleh Danantara? Jika iya, seperti apa skema pembenahannya? Sebab proses itu jelas akan memakan waktu bahkan biaya. Selama ini, penyehatan BUMN semestinya menjadi tanggung jawab PT Perusahaan Pengelola Aset, sebuah BUMN yang memiliki spesialisasi dalam restrukturisasi, revitalisasi dan pengelolaan aset. Maka timbul pertanyaan, bagaimana pembagian peran antara Danantara dan PT PPA? Atau, jangan-jangan ada kesalahan dalam pernyataan mengenai fungsi Danantara? Apakah pihak yang diserahi tanggung jawab mengurus Danantara mengetahui kendala-kendala PT PPA selama bertahun-tahun berupaya menyehatkan atau menutup BUMN? Pernyataan pihak Danantara bahwa manajemen aset BUMN akan dikelola oleh COO sementara manajemen investasi oleh CEO Danantara sebenarnya tidak menjamin Danantara akan bebas dari lilitan persoalan di pilar aset dan pilar investasi. Penjelasan Danantara itu sekadar menunjukkan bahwa tanpa melalui proses due diligence dan konsultasi masyarakat, pengelolaan seluruh BUMN dipusatkan pada Danantara, dan bukan lagi di Kementerian BUMN.
Kedua, laman resmi INA secara eksplisit menyebutkan bahwa fungsi pembangunan juga merupakan bagian dari mandat mereka, yakni “memanfaatkan potensi investasi dalam negeri dan mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan untuk membangun kesejahteraan jangka panjang bagi generasi masa depan”. Apakah pembedaan peran ini telah dikaji dan dirancang dengan jelas? Atau justru kita lagi-lagi sedang menonton ketidaksinkronan narasi antar-lembaga pemerintah dalam menjelaskan mandat dan posisi kelembagaan masing-masing?
Ketiga, patut dipertanyakan apakah para pihak yang berbicara atas nama Danantara benar-benar memahami prasyarat kredibilitas sebuah SWF? Kredibilitas SWF sangat bergantung pada tata kelola yang baik, bukan sekadar ditentukan oleh kehadiran nama-nama besar di jajaran dewan direksi atau dewan pengawas hingga penasihat, tetapi oleh keberadaan struktur pengambilan keputusan yang profesional yang didukung oleh riset berkualitas tinggi. Artinya, keputusan investasi harus didasarkan pada temuan para periset yang andal, yang tidak hanya menelusuri sektor-sektor prospektif, tetapi juga mampu merumuskan strategi masuk yang paling tepat dan berdampak untuk setiap sektor yang ditargetkan.
Fakta bahwa fokus kerja Danantara sebagian tumpang tindih dengan INA menambah urgensi bagi publik untuk memahami secara jernih di mana letak kelebihan Danantara–yang disebut “jumbo” itu–khususnya dari segi tata kelola, kapasitas kelembagaan, dan kecakapan dalam pengambilan keputusan investasi dibandingkan INA.