kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dirut BRI: Perlu angka maksimal hapus tagih


Jumat, 12 April 2013 / 10:10 WIB
Dirut BRI: Perlu angka maksimal hapus tagih
ILUSTRASI. IHSG menguat 50,51 poin atau 0,77% ke 6.632,29 pada akhir perdagangan Senin (8/11). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Reporter: Dyah Megasari |

JAKARTA. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sofyan Basir mengusulkan adanya angka maksimal untuk melakukan hapus tagih pada kredit macet usaha kecil dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI dan sejumlah bank milik Badan Usaha Milik Negara, Kamis (11/4) di Gedung DPR.

Sofyan mengharapkan adanya kriteria khusus untuk melakukan pembebasan kredit macet untuk usaha kecil

"Pada umumnya, kredit (pedagang) memang kecil, yaitu di bawah Rp 500 juta. Dalam kasus kebakaran pasar dan semua habis, diperlukan kriteria khusus karena tidak masuk dalam kriteria bencana dan kriteria Bank Indonesia. Kriteria itu diperlukan sebagai pendukung dalam melakukan hapus tagih," kata Sofyan.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis akan mengagendakan pertemuan dengan Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Dalam rapat dengar pendapat itu, Komisi XI mendengarkan masukan dari Direktur Utama PT  Bank Negara Indonesia (Persero) Gatot Mudiantoro Suwondo, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Maryono, dan Direktur Utama PT Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin untuk menyusun undang-undang pengurusan piutang.

Harry mengatakan, saat ini Komisi XI sedang berusaha menyamakan pandangan dengan pemerintah tentang definisi piutang negara. Mahkamah Konstitusi, lanjut Harry, meniadakan panitia pengurusan piutang negara, tapi bukan meniadakan piutang negaranya.

"Mahkamah Konstitusi tidak membuat piutang negara menjadi bukan piutang negara. Itu yang harus diatur oleh undang-undang ini," ujar Harry.

Harry menambahkan, menurut UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, aset BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Namun, aset itu tetaplah kekayaan negara. "Dengan demikian, diperlukan kontrol dari negara. Sikap baik dan prima itu adalah pemeriksaan dan keseimbangan (check and balance). Itulah filosofi dari demokrasi. Kalau seseorang diberi kekuasaan mutlak, maka dia cenderung menggunakan kekuasaannya untuk korupsi. Maka, diperlukan pengawasan. Pola pengawasan itu yang akan kita atur dalam undang-undang pengurusan piutang," kata Harry.

Anggota Komisi XI Arief Budianta mengatakan, penting sekali mendefinisikan apa saja piutang negara. "Bila piutang macet itu didefinisikan sebagai piutang negara dan dikembalikan kepada negara, maka uang itu dapat dikumpulkan kembali, lalu disalurkan kepada rakyat melalui lembaga urusan piutang negara," kata Arief. (Megandika Wilibrordus/Kompas.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×