Reporter: Ferry Saputra | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini tengah mengusut kasus dugaan kartel bunga pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending.
Tercatat, penyelenggara yang tergabung dalam asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), sempat menetapkan dua kali besaran bunga, yakni sebesar 0,8% pada 2018 dan 0,4% pada 2021.
Baca Juga: KPPU Duga Ada Kartel Bunga Pinjol, Begini Respons AFPI
Mengenai hal itu, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2018-2023 Sunu Widyatmoko sempat menuturkan penetapan bunga 0,8% pada 2018 yang tertuang dalam Code of Conduct AFPI bertujuan untuk membedakan fintech lending legal dengan pinjol ilegal.
Pada dasarnya, Sunu bilang saat itu masyarakat sulit membedakan fintech lending legal dan pinjol ilegal, seiring dengan literasi keuangan yang masih sangat rendah.
Alhasil, dia menyebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta penyelenggara untuk membentuk asosiasi dan menetapkan bunga atas sebagai langkah untuk membedakan fintech lending legal dan pinjol ilegal.
"Saat itu, mereka (masyarakat) tidak bisa membedakan mana yang legal dan tidak legal. Dengan demikian, waktu itu, OJK menyampaikan harus dibentuk suatu asosiasi khusus untuk mewadahi fintech lending agar perilaku dalam melakukan usaha itu dapat diatur sesuai dengan peraturan OJK," ungkapnya saat konferensi pers di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (14/5).
Sunu menyampaikan tujuan dari dibentuknya AFPI pada saat itu untuk melindungi konsumen. Oleh karena itu, AFPI menyusun Code of Conduct.
Dia bilang OJK saat itu melihat perlu adanya tindakan yang lebih konkret untuk bisa membedakan platform legal dengan ilegal dari sekadar membuat kode etik yang tertuang dalam Code of Conduct AFPI.
Baca Juga: AFPI: Penyesuaian Bunga Fintech Lending 2025 Berdasarkan Hasil Diskusi dengan OJK
Alhasil, OJK mengarahkan dan meminta AFPI harus menetapkan batas atas bunga sebagai langkah konkret. Sebab, saat itu, bunga yang dipatok pinjol ilegal berkisar antara 3%-4% per hari.
"OJK bilang silakan menetapkan berapa bunga maksimum yang harus ditaati oleh anggota AFPI," ungkapnya.
Lebih lanjut, Sunu menerangkan saat itu AFPI coba mencari referensi terkait penetapan suku bunga dan akhirnya mengacu pada industri fintech lending yang ada di Inggris.
Terkait referensi tersebut, dia mengaku sempat komplain pada saat itu karena level risiko antara Inggris dan Indonesia sangat berbeda.
"Jadi, waktu itu kami bilang oke, mengacu pada Inggris. AFPI berdiskusi dengan OJK. Akhirnya, kami sepakat. Dasar penetapan itu memang inginnya OJK. Kami diminta untuk menurunkan oleh OJK," tuturnya.
Sunu mengatakan saat itu OJK tak punya dasar payung hukum yang kuat untuk mengatur batas bunga fintech lending. Dengan demikian, AFPI menjadi perpanjangan tangan dari OJK untuk mengatur batas bunga.
"Untuk membedakan, saat itu, setiap anggota AFPI yang berjumlah sekitar 150 dapat dipastikan bunga pinjamannya tidak lebih dari 0,8% per hari," katanya.
Sunu menerangkan persaingan usaha di antara penyelenggara fintech lending saat itu tetap terjadi, meski sudah dibatasi bunganya menjadi 0,8%.
Baca Juga: AFPI Klaim Batas Bunga Maksimum Bukan Penyeragaman Harga
Dia bilang penyelenggara bebas untuk menetapkan besaran bunga yang dikenakan sesuai dengan risk profile sama porsi risiko yang ada di masing-masing platform. Dengan catatan, tak boleh berada di atas batas maksimum 0,8%.
"Jadi, batas bunga maksimum pada waktu itu, salah satunya untuk membedakan antara platform yang legal dan ilegal," ujarnya.