Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus hukum sedang mewarnai industri perbankan di awal bulan Oktober 2020. Yang terbaru misalnya, pada Selasa (6/10) ada dua kasus hukum besar yang mencuat dari sektor perbankan.
Pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengumumkan telah menerima gugatan dari Qatar National Bank (QNB). Dalam gugatan yang diunggah laman resmi PN Jakpus, QNB menggugat empat orang petinggi Bosowa Group. Antara lain, H Aksa Mahmud, Erwin Aksa, Sadikin Aksa dan Muhammad Subhan Aksa.
Nilai gugatan yang diajukan QNB ini juga terbilang jumbo yakni mencapai US$ 484,42 juta atau sekitar Rp 7,02 triliun (kurs Rp 14.500 per US$). Merujuk pada data Sistem Informasi Penelusuran Perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, surat gugatan ini dilayangkan pada Senin (5/10) dengan nomor perkara 562/Pdt.G/2020/PN Jkt.Pst.
Dalam petitumnya, empat pimpinan Bosowa Group yakni HM Aksa Mahmud, Erwin Aksa, Sadikin Aksa dan Muhammad Subdhan Aksa disebut telah melakukan perbuatan cidera janji (wanprestasi) atas akta-akta jaminan.
Baca Juga: Soal gugatan oleh QNB, Erwin Aksa: Yang digugat perusahaan offshore
Kemudian, menghukum para tergugat baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk membawar seluruh kewajibannya kepada penggugat sejumlah US$ 352,9 juta (untuk fasilitas A) dan US$ 131,51 juta (untuk fasilitas B). Ditambah bunga sebesar 6,36% per tahun terhitung sejak Agustus 2020 hingga tanggal dilunasinya seluruh kewajiban pembayaran tersebut kepada penggugat.
Menanggapi hal itu, Keluarga Aksa Mahmud memandang adanya upaya penggiringan opini publik terkait klaim telah diterimanya gugatan dari QNB. Padahal menurutnya, gugatan perdata dalam sebuah bisnis merupakan hal biasa. Terlebih Erwin menyebutkan bahwa gugatan tersebut justru baru didaftarkan.
"Yang benar baru didaftarkan. Dan itu hal biasa dalam bisnis. Tak ada corporat di dunia tak memiliki masalah perdata. Dalam kasus QNB ini ada yang berusaha menggiring menciptakan opini publik," kata Erwin Aksa kepada Kontan.co.id, Selasa (6/10).
Ini bukan kali pertama nama Bosowa bergaung perihal kasus hukum. Sebelumnya, PT Bosowa Corporindo, pemegang saham 11,68% PT Bank Bukopin Tbk juga sempat ramai diperbincangkan pasca mengajukan gugatan terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Nomor perkara 163/G/2020/PTUN.JKT akhir Agustus 2020 lalu.
Gugatan itu dilayangkan, setelah pihak Bosowa Corporindo tidak puas atas keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank Bukopin yang digelar 25 Agustus 2020 lalu.
Merujuk artikel Kontan.co.id beberapa waktu lalu, Direktur Utama Bosowa Corporindo OJK telah melanggar UU Perseroan Terbatas dengan memerintahkan Bosowa untuk memberikan kuasa kepada PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) selaku tim technical assictance, dalam RUPSLB tersebut. Perintah OJK tersebut, memberikan konsekuensi BRI-lah yang akan mewakili Bosowa dalam RUPSLB tersebut.
Kasus kedua, masih pada hari yang sama Selasa (6/10) Mantan Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Maryono, juga tersandung kasus hukum. Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Maryono sebagai tersangka kasus gratifikasi senilai Rp 3,12 miliar.
Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono menyatakan, Maryono diduga menerima gratifikasi dari dua debitur perseroan yaitu PT Pelangi Putera Mandiri senilai Rp 2,257 miliar dan PT Titanium Properti Rp 870 juta.
"Peran HM (H. Maryono) selaku Direktur Utama BTN adalah mendorong untuk meloloskan pemberian fasilitas kredit terhadap kedua debitur tersebut yang tidak sesuai dengan SOP yang berlaku pada BTN," ungkap Hari, Selasa (6/10) malam.
Asal tahu saja, pemberian gratifikasi berlangsung dalam periode tahun 2013-2015. Titanium Properti mendapat kredit sebesar Rp 160 miliar dari BTN pada tanggal 31 Desember 2013. Sementara kredit Pelangi Putera merupakan peralihan dari PT Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Timur kepada BTN Cabang Samarinda senilai Rp 117 miliar pada 9 September 2014.
Baca Juga: Waduh, Eks Dirut BTN Terseret Kasus Gratifikasi Rp 3,127 miliar, Libatkan Menantu
Nah, dalam penyidikannya Kejagung menemukan bukti permulaan berupa transfer dana sebesar Rp 2,25 miliar dari Rahmat Sugandi, pegawai Pelangi Putra kepada Widi Kusuma Purwanto. Widi merupakan menantu Maryono. Dugaan Kejagung, uang tersebut ditransfer untuk meloloskan pengambilalihan kredit Pelangi Putera dari PT BPD Kaltim senilai Rp 117 miliar pada tanggal 9 September 2014
Kemudian, Kejagung juga menemukan transaksi serupa dari debitur BTN lain yaitu PT Titanium Properti. Widi lagi-lagi tercatat menerima dana total Rp 870 juta dari Titanium Properti yang dikirim sebanyak tiga kali.
Adapun, Titanium Properti memang menerima kredit dari Bank BTN pada 31 Desember 2013 senilai Rp 160 miliar untuk pembangunan Apartemen.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Perusahaan Bank BTN Ari Kurniawan menyebut pihaknya tentu akan menghormati proses hukum dalam penyelesaian kasus tersebut.
"Bank BTN menghormati proses hukum dalam penyelesaian masalah tersebut dan akan membantu penegak hukum dengan tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah” kata Ari saat ditemui di Jakarta, Selasa (6/10) malam.
Dia juga menegaskan, kredit yang diberikan pada tahun 2014 kepada Pelangi Putera Mandiri (PPM) dan Titanium Property (TP) di tahun 2013 sudah memiliki pencadangan alias coverage yang lebih tinggi dari nilai kredit. Sehingga, dari sisi perbankan, posisi kredit tersebut sudah terbilang aman dan telah diikat hak tanggungannya.
"Kinerja kami tetap akan solid apalagi pemberian kredit kepada dua perusahaan tersebut telah memiliki agunan yang kuat dan telah disiapkan cadangan yang cukup," ungkapnya.
Perseroan juga menambahkan, BTN selama ini sudah bekerja sama dengan Kejaksaan Agung dalam memproses debitur nakal yang tidak mau membayar utangnya. "Kami sudah melakukan MOU dengan Kejagung. Bahkan kami sudah terbantu dengan upaya Kejagung dalam memproses debitur nakal," tegasnya.
Selanjutnya: Kasus gratifikasi eks bos Bank Tabungan Negara (BBTN), Kejagung bidik tersangka lain
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News