Reporter: Issa Almawadi | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Tak ada yang sempurna menjadi kalimat yang tepat untuk menggambarkan keberadaaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia. Regulator yang telah berdiri selama kurang lebih tiga tahun ini diketahui memiliki beberapa kesalahan dalam penyampaian laporan keuangan tahun buku 2014.
Beberapa kesalahan pelaporan keuangan OJK tertuang dalam rapat dengar pendapat antara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Teuku Radja Sjahnan, Independent Banking Professional sekaligus founder JariUngu.com, Senin (12/10).
Radja sebagai narasumber tunggal dalam RDP itu membeberkan bahwa OJK salah mencantumkan pendapatan pungutan yang dimulai tahun 2014 pada laporan keuangan 2014.
"Seharusnya, pendapatan pungutan baru bisa disampaikan satu tahun setelah pungutan itu diberlakukan," terang Radja. Artinya, kata Radja, pendapatan pungutan OJK baru bisa ada di laporan keuangan tahun 2015 karena penggunaannya tidak bisa langsung berlaku saat tahun pungutan itu.
Mantan auditor BPK ini juga menjelaskan, menurut UU 21/2011 tentang OJK dan PP 11/2014. pendapatan pungutan OJK suatu tahun hanya dapat dipakai untuk membiayai kegiatan OJK tahun berikutnya. Dalam hal ini, Radja bilang, pendapatan pungutan OJK harus ditempatkan di 'pendapatan diterima di muka', bukan pendapatan tahun berjalan.
Nah, akibat kesalahan itu, kata Radja, dalam laporan keuangan OJK langsung tercatat utang pajak. Di 2014, OJK membukukan pungutan dari industri senilai Rp 2,04 triliun dengan utang pajak Rp 572,98 miliar. Padahal, saat bersamaan, OJK juga masih menerima pendapatan APBN sebesar Rp 2,1 triliun.
"Maka terjadi anomali. Pendapatan belum dikurangi biaya, namun telah dicadangkan untuk bayar PPH Badan (walau sedang diusahakan untuk dapat perlakukan khusus dari Dirjen Pajak)," tutur Radja. Dengan begitu, kesalahan OJK ini tidak adil bagi industri keuangan yang membiayai operasional OJK.
Radja juga menyampaikan, OJK tidak teliti dalam memasukkan pos kas dan setara kas awal tahun. Dari laporan yang diterima Radja, pos tersebut kosong. Dia pun berpendapat, kejadian ini akibat adanya kesalahan penyampaian.
Tidak hanya itu, Radja menambahkan, ada perbedaan nilai giro OJK yang ditempatkan di Bank Indonesia. Menurut OJK, pihaknya menempatkan dana giro di BI senilai Rp 1,309,953 juta sementara menurut BI, giro milik OJK bernilai Rp 1,309,918 juta. Dari ini, Radja menilai ada perbedaaan sekitar Rp 50 juta.
Mengenai giro itu, Radja mempertanyakan mengapa perbedaan nilai tersebut bisa terjadi. "Ini menimbulkan keraguan, angka mana yang benar? Perbedaan ini juga memperlihatkan tidak ada rekonsiliasi diantara kedua lembaga dan kualitas pemeriksaan BPK yang mengaudit dua lembaga tersebut," tambah Radja.
Atas kesalahan-kesalahan itu, Radja menyarankan agar kualitas laporan keuangan OJK sebagai regulator industri keuangan perlu diperbaiki untuk mempertahankan kredibilitas OJK di mata industri yang diawasinya.
"Kan jadinya lucu. Saat OJK memberi denda bagi emiten yang tidak menyampaikan laporan keuangan dengan benar, justru OJK juga punya kesalahan dalam penyampaian laporan keuangan," ungkap Radja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News