Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Suku bunga kredit baru perbankan terlihat belum juga menunjukan tanda-tanda penurunan kendati bunga acuan BI telah turun ke level 5,50%.
Sebagai informasi, suku bunga kredit baru adalah tingkat harga yang ditetapkan kreditur atas fasilitas kredit baru. Adapun, kenaikan suku bunga kredit baru terjadi pada seluruh kelompok bank, kecuali Kantor Cabang Bank Asing (KCBA).
Secara rinci, merujuk data BI terbaru, kenaikan suku bunga kredit baru pada kelompok BUMN, BUSN, dan BPD berturut-turut sebesar 36 basis poin (bps), 26 bps, dan 12 bps menjadi 8,81%, 10,61% dan 9,97%. Sebaliknya, kelompok KCBA mengalami penurunan suku bunga kredit baru sebesar 138 bps secara bulanan menjadi 7,21%.
Walau demikian, langkah BI menurunkan suku bunga acuan disebut membuka peluang margin bank kembali membesar. Mengingat, Net Interest Margin (NIM) bank memiliki tren penurunan.
Baca Juga: Tekanan Pada NIM Jadi Sorotan Analis, Cek Rekomendasi Saham Bank Mandiri (BMRI)
Berdasarkan Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per April 2025 mencatat NIM perbankan berada di level 4,45%, lebih rendah dari bulan sebelumnya 4,51%. Bahkan, per April 2024 mampu mencapai 4,56%.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menilai tren NIM yang cenderung turun mencerminkan kompetisi dana yang ketat. Tidak hanya antar bank namun dengan instrumen investasi lainnya juga.
Dengan adanya penurunan BI rate, Dian melihat ada peluang bagi perbaikan margin bank. Sebab, secara teoritis, terdapat ruang untuk perbankan menurunkan cost of fund.
“Namun akan sangat tergantung pada seberapa cepat bank dapat menyesuaikan suku bunga simpanan dan kredit,” ujarnya saat konferensi pers RDK OJK beberapa waktu lalu.
Dian pun memproyeksikan bahwa ke depan NIM perbankan masih akan berada dalam level yang stabil dan moderat. Dengan catatan transmisi suku bunga berjalan efektif dan pertumbuhan kredit juga meningkat.
Di sisi lain, pihaknya juga mendorong bank untuk mengandalkan efisiensi operasional dan pengelolaan risiko kredit yang baik sebagai strategi menjaga profitabilitas secara berkelanjutan.
“Tidak semata-mata mengandalkan spread,” tambah Dian.
Baca Juga: Mayoritas Bank KBMI 4 Alami Penurunan NIM Secara Bulanan
Sementara Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, ada beberapa alasan bank tetap menjaga NIM-nya.
"Salah satunya memang selisih itu kan untuk mengkompensasi dari kenaikan NPL, untuk menjaga profitabilitas. Karena kalau NPL-nya ke depan akan ada tren kenaikan, meskipun kenaikannya mungkin tidak langsung terlalu tinggi, kecuali segmentasi UMKM, maka yang terjadi adalah bank harus menjaga profitabilitas dan NIM itulah yang dijaga," jelas Bhima.
Menurut Bhima, sebenarnya NIM yang cukup lebar itu mencerminkan situasi kredit yang tidak terlalu baik, sehingga dikompensasi dengan spread dari suku bunga deposito atau simpanan dengan suku bunga kredit yang lebar.
"Kemudian yang kedua, salah satu alasannya juga dengan NIM, profitabilitas terjaga, maka bank juga bisa mencerminkan kinerja yang cukup bagus di laporan keuangannya," sambungnya.
Selain itu, bisa menjaga ekspektasi dari investor atau ekspektasi dari para pemegang saham, bahwa situasi memang kurang begitu bagus, penyaluran kreditnya lambat, tapi kompensasi di laba tahunannya masih cukup baik.
Adapun Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan menyampaikan, penyebab bank belum dapat menyesuaikan bunga kredit karena biaya dana atau cost of fund (CoF) belum ada penurunan walaupun BI sudah menurunkan bunga acuan dua kali.
"Karena memang likuiditas di pasar yang ketat. Terlihat dari LDR yang tinggi sehingga jika cof tetap tinggi, maka bank sulit untuk menurunkan rate loan," ujar Lani.
Menurutnya, NIM harus dijaga karena untuk bisa memitigation NPL ygan juga akan berdampak ke profit bottom line. Ia mengakui NIM perseroan telah tertekan dalam dua tahun terakhir karena kenaikan cost of fund, sedangkan loan pricing tidak bisa mengikuti untuk menjaga kualitas aset NPL yang sehat.
Kami telah mencoba mempertahankan margin agar tak semakin tergerus. Namun, NIM CIMB Niaga telah berada di level 3,99% pada kuartal pertama tahun ini, lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ideal perseroan pada kisaran 5%. Kami memperkirakan NIM kami akan tetap berkisar di 3,9%-4% pada akhir tahun nanti," ungkapnya.
Di sisi lain, Direktur kepatuhan OK Bank Efdinal Alamsyah mengatakan, suku bunga kredit tidak bisa dirata-ratakan secara sederhana karena untuk tiap segment portofolio berbeda dan secara individu untuk debitur berbeda tergantung risk profile masing-masing.
"Semakin tinggi risk profile-nya semakin tinggi juga suku bunga yang dikenakan bank," kata Efdinal.
Baca Juga: NIM Amar Bank Sentuh 24,93% per Maret 2025, Ini Sebabnya
Menurut Efdinal, faktor yang mempengaruhi suku bunga yang dikenakan kepada debitur adalah risk profile.
"Tapi kalau berbicara secara industri Perbankan, banyak faktor yang menyebabkan suku bunga tidak turun, misalnya faktor likuiditas bisa menjadi salah satu faktor, termasuk juga misalnya komposisi sumber dana, cost of fund, dan lain-lain," jelasnya.
Sementara itu, interest margin disebut tidak berhubungan langsung atau mungkin kecil pengaruhnya terhadap NPL. Menurutnya, suatu kredit menjadi NPL karena ketidakmampuan atau ketidakmauan debitur membayar kewajiban, yang bisa disebabkan oleh: usaha turun (ekonomi atau manajemen buruk), analisis kredit & pemantauan bank yang lemah, gangguan eksternal tak terduga (ekonomi, bencana, regulasi).
Efdinal menuturkan, untuk jangka pendek NIM cenderung tertekan/menurun, terutama di bank yang komponen DPK nya didominasi oleh dana mahal. Untuk Jangka menengah, jika suku bunga mulai turun, NIM bisa mulai stabil/pulih perlahan.
Pada kuartal I-2025 NIM OK Bank berada di level 5,46%, dan di akhir tahun ia memperkirakan NIM sekitar 5%.
PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) menilai, pergerakan NIM sejalan dengan permintaan kredit, tren suku bunga, dan kondisi likuiditas. Pada kuartal I-2025, NIM BCA berada pada level 5,8%.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn mengatakan, hal itu sejalan dengan peningkatan volume kredit dan efisiensi struktur pendanaan, di mana cost of fund BCA tetap terjaga berkat kuatnya dana murah dari nasabah ritel.
Menurutnya, dalam melihat profitabilitas bank, NIM hanya merupakan salah satu komponen indikator yang belum memperhitungkan pendapatan non-bunga, biaya operasional, dan pencadangan kredit.
"Kami memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan margin dan kualitas aset. Oleh karena itu, BCA juga terus mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk menjaga kualitas kredit dan mengelola risiko non-performing loan (NPL) secara optimal," ujar Hera.
Selanjutnya: StormWall dan IDCloudHost Buka Pusat Keamanan Siber di Jakarta
Menarik Dibaca: 5 Tanaman yang Bisa Meningkatkan Kesehatan Mental Anda, Ada Lidah Buaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News