Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah bank mulai menerima tambahan modal di separuh kedua 2019. Akhir Agustus lalu, PT Bank BCA Syariah bahkan sudah rampung menerima tambahan modal dari induknya yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BBCA, anggota indeks Kompas100).
“Penambahan modal sudah terlaksana minggu ketiga Agustus kemarin senilai Rp 1 triliun dengan menerbitkan saham baru. Namun karena kami bukan perusahaan terbuka prosesnya jadi lebih sederhana dan cepat,” kata Presiden Direktur BCA Syariah John Kosasih kepada Kontan.co.id, Rabu (4/9).
Baca Juga: Bank Mandiri siapkan pembiayaan khusus Rp 150 miliar untuk PT Timah (TINS)
Atas penambahan modal tersebut, rasio kecukupan modal perseroan meningkat dari kisaran 25% menjadi 37%. Suntikan Rp 1 triliun ini pun merupakan dana segar setelah pada 2015 BCA menambah modal BCA Syariah senilai Rp 400 miliar.
Sedangkan per Juli 2019, BCA Syariah tercatat telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp 4,80 triliun. Nilai tersebut meningkat 2,26% (yoy) dibandingkan penyaluran pada Juli 2018 senilai Rp 4,70 triliun.
Sementara sejumlah bank lainnya juga telah mengumumkan rencana serupa, mereka adalah PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR), PT Bank Construction Bank Indonesia Tbk (MCOR), dan PT Bank Mayapada Tbk (MAYA).
Bank Oke akan menggelar penambahan modal via hak memesan efek terlebih dahulu alias rights issue yang targetnya bisa terlaksana pada akhir tahun ini.
Baca Juga: Porsi penyaluran KUR Bank Mandiri dan BRI ke sektor produksi belum mencapai 60%
“Jika tidak ada hambatan, kami bisa mendapatkan pernyataan efektif dari OJK pengawas pasar modal pada 27 November 2019, maka pada 23 Desember 2019 rights issue sudah bisa selesai,” kata Direktur Kepatuhan Bank Oke Efdinal Alamsyah kepada Kontan.co.id.
Untuk menggelar aksi rights issue ini, perseroan akan terlebih dahulu menggelar RUPSLB pada 7 Oktober mendatang. Sementara dari aksi ini, pemegang saham pengendali Bank Oke yaitu Apro Financial akan menambah modal hingga Rp 500 miliar.
Aksi ini akan dilakukan dengan menerbitkan 5 miliar saham baru dengan nominal Rp 100 per sahamnya.
Pascamerger dengan Bank Dinar, secara proforma Apro Financial tercatat memegang 91,33% saham senilai Rp 579,15 miliar, kemudian sisanya dipegang oleh publik.
Efdinal menambahkan, penambahan modal akan digunakan untuk ekspansi kredit perseroan. Pun dalam jangka panjang, tambahan modal dari Apro akan digunakan untuk meningkatkan kelas menjadi Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3.
Baca Juga: Dorong ekspansi, BCA syariah dapat suntikan modal Rp 1 triliun dari BCA
“Dalam beberapa tahun mendatang, tiap tahun pemegang saham juga akan tambah modal Rp 500 miliar hingga total penambahan modal mencapai RP 3 triliun. Ini sesuai dengan komitmen kami kepada OJK untuk naik BUKU 3,” lanjut Efdinal.
Kini diperkirakan modal inti Bank Oke senilai Rp 1,48 triliun. Nilai tersebut berasal dari penjumlahan modal inti perseroan pada Juni 2019 senilai Rp 1,04 triliun dan modal inti Bank Dinar pada periode yang sama senilai Rp 436,66 miliar.
Artinya untuk bisa naik kelas menjadi BUKU 3 dengan modal inti di atas Rp 5 triliun, Bank Oke masih butuh sekitar Rp 3,52 triliun lebih.
Strategi dan target serupa juga tengah dibidik Bank CCB, perseroan juga punya rencana rights issue guna menjadi BUKU 3.
Penambahan modal ini diharapkan dapat memperkuat dan meningkatkan modal inti perseroan sehingga perseroan dapat diklasifikasikan sebagai BUKU 3 di Indonesia dengan tujuan untuk memastikan kecukupan rasio kecukupan modal guna pengembangan bisnis perseroan,” tulis perseroan dalam keterbukaan informasinya, Rabu (4/9).
Baca Juga: Ditopang Bansos, inklusi keuangan di Indonesia naik jadi 51%
Target menjadi BUKU 3 dibidik seiring rencana ekspansi kredit perseroan ke segmen korporat besar. Sementara per Juni 2019, perseroan tercatat memiliki modal inti senilai Rp 2,08 triliun, artinya Bank CCB masih butuh tambahan modal inti hingga Rp 2,92 triliun lebih.
Sedangkan aksi rights issue ini sendiri akan dilaksanakan dengan menerbitkan saham sebanyak-banyaknya sejumlah 32 miliar saham dengan nilai nominal Rp 100. Perseroan juga akan menggelar RUPSLB pada 11 Oktober mendatang guna meminta restu kepada pemegang saham.
“Apabila pemegang saham perseroan tidak melaksanakan HMETD yang dimilikinya maka kepemilikan pemegang saham akan terdilusi maksimum hingga 65,8%,” lanjut perseroan.
Sedangkan per Juli 2019, komposisi pemegang saham perseroan adalah China Construction Bank Corporation menguasai 60% kepemilikan saham senilai Rp 997,87 miliar.
Lalu Jhonny mengempit 21,32% saham senilai Rp 354,66 miliar, Kiki Hamidjaja memegang 5,21% saham senilai Rp 88,64 miliar. Sedangkan sisa 13,47% saham senilai Rp 223,96 miliar dimiliki masyarakat.
Baca Juga: Ingin naik kelas menjadi BUKU III, Bank CCB (MCOR) akan rights issue
Sementara Bank Mayapada telah mendapat restu dari pemegang sahamnya pada RUPSLB ada 21 Agustus lalu untuk menyelenggarakan rights issue yang akan dimulai pada 4 Oktober mendatang.
Dalam aksi tersebut perseroan akan menawarkan 455.494.000 saham dengan harga nominal Rp 100 dan harga pelaksanaan Rp 2.200. Sehingga dalam aksi ini, perseroan menargetkan untuk bisa menghimpun dana hingga Rp1 triliun lebih.
“Pemegang saham pengendali akan mengeksekusi haknya dalam rights issue. Mereka memang selalu berkomitmen untuk memperkuat struktur permodalan kami,” kata Presiden Direktur Bank Mayapada Hariiyono Tjahrijadi kepada Kontan.co.id.
Saat ini kepemilikan saham Bank Mayapada sendiri dikuasai oleh Dato Sri Tahir melalui PT Mayapada Karunia yang mengempit 26,42% saham, dan JPMCB Na Re-Cathay Life Insurance Co Ltd yang memegang 40% saham.
Baca Juga: Kejar nasabah induk perusahaan, NPF CNAF turun 95 basis poin di Juli 2019
Sedangkan sisanya dimiliki oleh Galasco investment Limited sebesar 10%, Unity Rise Limited sebesar 7,31%, dan publik sebesar 16,27%.
Sejak 2013 pemegang saham perseroan memang konsisten melakukan penambahan modal. Hingga 2018 sendiri penambahan modal baik melalui rights issue maupun penerbitan obligasi subordinasi telah mencapai Rp 5,45 triliun.
Ini pula yang bikin perseroan naik kelas ke Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) III dengan modal inti Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun pada 2017.
Sementara selain bank swasta adapula bank pelat merah yang punya rencana rights issue yaitu PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN, anggota indeks Kompas100).
Meski demikian rencana ini baru bisa akan terealisasi pada tahun depan, mengingat perizinan mesti melibatkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca Juga: Bank Mandiri sudah menyalurkan KUR sebesar Rp 15 triliun hingga Agustus
Direktur Finance, Treasury, and Strategy BTN Nixon Napitupulu bilang perseroan telah mengajukan rencana tersebut kepada Kementerian BUMN.
“Kita jalan terus bersama Kementerian BUMN, tapi apakah dapat prioritas untuk Penyertaan Modal Negara (PMN) kami tidak tahu. Tapi rencananya, kalau holding keuangan terbentuk kami akan pertama yang menggelar rights issue,” kata Nixon di Jakarta, Selasa (3/9).
Nixon bilang perseroan menargetkan untuk dapat menghimpun dana Rp 5 triliun hingga Rp 8 triliun. Tambahan modal ini diperlukan lantaran sebagai bank yang punya bisnis inti di segmen kredit perumahan, modal perseroan bisa tergerus 1% hingga 1,5% per tahun akibat ekspansi guna mengatasi kebutuhan perumahan yang tinggi.
Baca Juga: Jasa Raharja gencar lakukan inovasi digital, ini alasannya
Akibatnya likuiditas perseroan juga selalu ketat, sejak 2015 loan to deposit ratio (LDR) perseroan selalu berada di kisaran 100%. Sementara capital adequacy ratio (CAR) BTN juga terus melorot sejak 2016 sebesar 16,54%, 2017 sebesar 15,99%, dan pada 2018 sebesar 15,97%.
Sedangkan hingga pada Juni 2019 CAR perseroan tercatat sebesar 16,99%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News