Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Sejumlah wilayah Indonesia mencatat kenaikan kredit bermasalah pada sektor pertambangan dan penggalian. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), mengatakan, perlambatan ekonomi di Amerika Serikat (AS), China dan negara-negara Eropa membuat permintaan terhadap komoditas menurun. Alhasil, harga komoditas pun terpangkas.
Kondisi itu mengganggu kelancaran dari sektor pertambangan yang pada akhirnya menyebabkan kenaikan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). BI mencatat, wilayah Indonesia yang mencatat NPL tinggi pada sektor pertambangan adalah wilayah Sumatera dan Kalimantan, dibandingkan wilayah Jawa yang mencatat NPL masih satu digit.
“Memang ada beberapa daerah tertentu yang NPL-nya sudah mencapai 10%,” kata Halim, kemarin. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Agustus 2014, rasio NPL pertambangan dan penggalian untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan tercatat tumbuh dua digit.
Misalnya, NPL pertambangan dan penggalian untuk wilayah Sumatera Selatan 16,22%, Kalimantan Barat 17,52%, Kalimantan Tengah 16,66%, Sulawesi Selatan 18,8%, Nusa Tenggara Barat 46,6%, dan Bali 86,56%. Sedangkan, total rasip NPL keseluruhan pertambangan dan penggalian sebesar 2,47%.
Kelompok bank besar seperti bank BUKU 3 dan BUKU 4 paling banyak menyalurkan kredit ke sektor komoditas. Menurutnya, kelompok bank ini mampu memitigasi risiko kredit sektor komoditas, sehingga regulator tidak terlalu khawatir terhadap kenaikan NPL.
Jika terjadi NPL pada bank BUKU 3 dan BUKU 4, memburuknya kondisi bank tersebut tidak secepat terjadi NPL di BUKU 1 dan BUKU 2. “Rasio NPL komoditas di bank besar masih di bawah 1%,” ucapnya.
Halim memprediksi, harga komoditas ke depan belum akan pulih seiring ekonomi dunia yang belum membaik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News