Reporter: Ferry Saputra | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menyoroti kekhawatiran masyarakat terhadap produk dan layanan fintech P2P lending dengan berbagai isu dan pemberitaan yang terjadi saat ini.
Mengenai hal itu, Wakil Ketua Umum IV Aftech Marshall Pribadi menerangkan pihaknya kembali mengingatkan dan mengedukasi masyarakat terkait kerangka regulasi sektor fintech, termasuk P2P lending yang lebih kuat sebagai upaya dalam memberikan perlindungan lebih terhadap masyarakat pengguna layanan P2P lending.
Marshall bilang, Aftech dengan lebih dari 300 anggotanya yang terdiri dari lebih dari 25 model bisnis, turut mendorong industri untuk mengedepankan tata kelola yang baik dan perlindungan konsumen dalam pengembangan produk dan layanannya.
Hal itu didorong melalui peluncuran rangkaian pedoman perilaku dan kode etik Aftech pada 2019-2020 yang mencakup pedoman perilaku penyelenggara teknologi finansial di sektor jasa keuangan yang bertanggung jawab, kode etik terkait perlindungan data pribadi dan kerahasiaan data di sektor teknologi finansial.
"Juga pedoman perilaku pemberian layanan aggregator secara bertanggung jawab, pedoman perilaku pemberian layanan financial planner secara bertanggung jawab, dan pedoman perilaku pemberian layanan innovative credit scoring secara bertanggung jawab," kata Marshall dalam keterangan resmi, Senin (5/2).
Baca Juga: Ini Respons Aftech Terkait Permasalahan yang Menimpa Investree
Marshall juga mengatakan Aftech mengapresiasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK Nomor 10 Tahun 2022), sebagai langkah untuk melindungi masyarakat dari pinjaman online ilegal yang selama ini meresahkan.
"Selain itu, OJK juga meluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi 2023-2028 pada Desember 2023 sebagai upaya pembenahan industri P2P Lending. Roadmap tersebut memuat sejumlah fokus, diantaranya membenahi aspek tata kelola serta mendorong kontribusi industri LPBBTI bagi perekonomian, khususnya dalam pembiayaan sektor produktif dan UMKM," ujarnya.
Sementara itu, Marshall menyampaikan Aftech juga mengapresiasi langkah pemerintah dalam menerbitkan rangkaian Undang-undang (UU), termasuk UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), dan UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurutnya, kehadiran UU PDP turut memperkuat sektor fintech dalam menjaga pelindungan data pribadi konsumen. Dia menjelaskan penyalahgunaan data pribadi yang terjadi di industri P2P Lending, termasuk penyelahgunaan data yang menyebabkan pencairan dana kepada nasabah tanpa diketahui oleh nasabah, seringkali terjadi karena kurangnya regulasi atau payung hukum yang ada.
"UU PDP menjadi dasar untuk melakukan pengumpulan data pribadi yang lebih aman dan mengantisipasi terhadap pengembangan teknologi ke depannya. Pada implementasinya, penyelenggara fintech kini wajib mendapat persetujuan dari pemilik data pribadi terlebih dahulu ketika akan melakukan pemrosesan data. Selain itu, penyelenggara wajib memastikan adanya proses autentifikasi, verifikasi, dan validasi saat memproses data," ungkapnya.
Lebih lanjut, Marshall menerangkan UU P2SK yang secara spesifik memuat Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) mempertegas kehadiran fintech di sektor jasa keuangan. Dia bilang UU P2SK juga turut memperkuat peran dan kewenangan OJK dalam memberikan kepastian hukum dan pelindungan masyarakat dari praktik layanan jasa keuangan, termasuk fintech, yang ilegal.
Adapun pengaturan itu mempertegas upaya pengentasan praktik fintech P2P Lending yang ilegal dan tidak beretika. Dia menerangkan UU P2SK membawa era baru bagi industri Fintech melalui penguatan koordinasi pengaturan dan pengawasan ITSK dengan prinsip keseimbangan antara upaya mendorong inovasi, mitigasi risiko, serta integrasi ekonomi dan keuangan digital.
Marshall berpendapat regulasi yang turut memperkuat sektor fintech hadir melalui Revisi Kedua UU ITE yang dinilai akan meminimalisir praktik kekerasan debt collector dari penyelenggara P2P lending dengan ketentuan pelarangan penyebaran data dan informasi konsumen.
Selain itu, kata dia, terdapat pasal 17 ayat 2A terkait transaksi elektronik yang mana seluruh transaksi elektronik beresiko tinggi atau tanpa tatap muka diamankan dengan tanda tangan elektronik dan sertifikat elektronik.
"Dengan demikian, meminimalisir keluhan masyarakat yang merasa tidak pernah mengajukan pinjaman, tetapi secara tiba-tiba mendapatkan transfer uang sebagai pinjaman. Hal itu sebagai suatu hal positif karena dapat membuat industri fintech P2P lending berkembang lebih baik dan bertanggung jawab dalam memberikan pelindungan terhadap konsumen," tuturnya.
Sesuai dengan amanat UU tersebut, Marshall merekomendasikan kepada masyarakat atau pelaku industri untuk selalu menggunakan sertifikat elektronik dalam melakukan transaksi elektronik yang memiliki risiko tinggi. Sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik Indonesia adalah entitas digital yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengotentikasi pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik.
Dia menerangkan sertifikat itu berisi informasi tentang identitas pemiliknya, seperti nama, alamat, dan kunci publik untuk memberikan keabsahan dan keamanan pada dokumen atau transaksi online.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













