kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.129   71,00   0,44%
  • IDX 7.073   89,18   1,28%
  • KOMPAS100 1.057   16,45   1,58%
  • LQ45 831   13,55   1,66%
  • ISSI 215   2,30   1,08%
  • IDX30 423   7,01   1,68%
  • IDXHIDIV20 510   7,78   1,55%
  • IDX80 120   1,85   1,56%
  • IDXV30 125   0,65   0,52%
  • IDXQ30 141   2,02   1,46%

Tembus 3,18%, rasio kredit macet fintech naik tinggi di awal 2019


Rabu, 03 April 2019 / 16:41 WIB
Tembus 3,18%, rasio kredit macet fintech naik tinggi di awal 2019


Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat rasio kredit macet (NPF) industri fintech peer to peer (P2P) lending meningkat signifikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio NPF fintech menembus angka 3,18% per Februari 2019.

Padahal rasio NPF pada tahun lalu masih di posisi 1,45%, kemudian meningkat kembali pada Januari 2019 menjadi 1,68%. Peningkatan rasio kredit tersebut dibarengi dengan kenaikan jumlah pinjaman fintech yang disalurkan ke masyarakat. Tercatat, per Februari 2019, pinjaman yang disalurkan sebesar Rp 7,05 triliun atau meningkat 605% secara year on year (yoy).

Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menegaskan bahwa peningkatan NPF itu masih dalam batas wajar. Secara umum, rasio NPF industri P2P lending merupakan risiko dari para pemberi pinjaman (lender) bukan platform fintech. Maka itu mereka mesti siap untuk mengantisipasi risiko pinjaman yang disalurkan kepada debitur. 

"Namun hal ini tetap perlu dicermati oleh para lender dalam hal melakukan assesment kredit terhadap risiko yang mereka serap ," kata Sekar kepada Kontan.co.id, belum lama ini.

Selama ini, di industri fintech lending ada kesepakatan bahwa peminjaman terjadi langsung antara pihak peminjam maupun pemberi pinjaman. Maka itu informasi mengenai rasio NPL lebih ditekankan pada konteks market conduct atau transparansi, bukan menunjukkan kesehatan keuangan platform fintech tersebut. 

Guna menekan rasio NPF, otoritas bersama Asosiasi Pendanaan Fintech Bersama Indonesia (AFPI) telah menyiapkan strategi untuk mendukung credit scoring penyelenggara sehingga lender dapat menilai resiko dan kualitas penyaluran kredit . Di antaranya dengan membangun pusat data fintech lending (Pusdafil).

Menurut Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPU Tumbur Pardede, kehadiran Pusdafil ini bisa mengidentifikasikan potensi fraud atau kecurangan dari calon peminjam yang berisiko. Misalnya, peminjam yang mengajukan kredit ke banyak platform fintech sehingga berpotensi tidak membayar.

“Kalau pinjam ke banyak fintech justru lebih berisiko, bagaimana nantinya mereka bisa membayar kreditnya. Jika di Amerika, justru peminjam seperti ini mempunyai kredit scoring yang lebih rendah untuk diberikan pinjaman,” ungkap Tumbur.

Selain mengandalkan Pusdafil, tiap perusahaan juga punya cara masing-masing untuk menekan risiko kredit macet. Seperti bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk menjamin dana lender bisa kembali.

Adapula perusahaan yang menggunakan invoice financing atau pembiayaan tagihan. Ini merupakan kegiatan pendanaan yang dilakukan dengan cara menjaminkan tagihan yang sudah berjalan sebagai sumber pembayaran pinjaman oleh borrower.

Sementara cara lainnya, melalui jaminan kredit baik dari jaminan personal, orang tua dan perusahaan yang bersangkutan. Biasanya, platform fintech bekerja sama dengan perusahaan. Jika ada karyawan yang menunggak kredit maka gajinya akan dipotong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×