Reporter: Ferry Saputra | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan bahwa kasus fraud di asuransi kesehatan rentan terjadi, termasuk Indonesia. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono memperkirakan fraud asuransi kesehatan di Indonesia sebesar 5% dari total klaim.
Menanggapi hal itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai adanya Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan dapat secara signifikan menekan potensi fraud.
"Meski baru akan berlaku mulai 1 Januari 2026, kami percaya apabila implementasinya dilakukan secara berimbang serta memperhatikan kepentingan nasabah dan keberlanjutan bisnis, aturan itu dapat secara signifikan menekan potensi fraud," ucap Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu kepada Kontan, Jumat (13/6).
Baca Juga: AAJI Optimistis Hasil Investasi Asuransi Jiwa Akan Pulih pada Sementer II-2025
Lebih lanjut, Togar menerangkan adanya SEOJK 7/2025 merupakan langkah strategis OJK dalam memperkuat tata kelola dan keberlanjutan ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia. Dia bilang regulasi itu hadir sebagai jawaban atas tantangan industri, khususnya terkait pengendalian biaya klaim, transparansi manfaat, serta perlindungan hak nasabah.
Togar memandang aturan itu juga sebagai peluang untuk membangun sistem asuransi kesehatan yang lebih adil dan efisien.
Dalam mengantisipasi adanya potensi fraud nasabah di asuransi kesehatan, AAJI mengimbau perusahaan asuransi jiwa untuk melakukan sejumlah upaya. Dia bilang industri asuransi jiwa perlu berupaya mencegah terjadinya fraud oleh nasabah secara ketat sejak awal seleksi risiko (proses underwriting).
"Diberlakukannya medical check up menjadi salah satu upaya industri untuk mendapatkan informasi yang lebih valid mengenai kondisi kesehatan calon nasabah," katanya.
Pada proses klaim, Togar mengatakan perusahaan biasanya memiliki tim khusus yang bertugas untuk melakukan verifikasi terhadap klaim-klaim kesehatan yang dinilai tidak wajar (terindikasi fraud berdasarkan dokumen). Hal itu juga bisa menjadi salah satu upaya untuk mengantisipasi adanya fraud oleh pihak lain, termasuk nasabah.
Selain itu, Togar mendorong perusahaan asuransi jiwa memanfaatkan teknologi digital, seperti big data, guna mempermudah perusahaan untuk melakukan verifikasi atas klaim yang diajukan, serta melakukan koordinasi dengan lembaga yang fokus pada penanganan fraud apabila kasus klaim yang ditangani perusahaan tidak dapat diselesaikan secara internal.
"Perusahaan asuransi jiwa juga perlu meningkatkan edukasi dan literasi kepada tenaga pemasar dan masyarakat untuk senantiasa berlaku jujur dan menegakkan prinsip utmost good faith," ujar Togar.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono memperkirakan fraud asuransi kesehatan di Indonesia sebesar 5% dari total klaim. Dia bilang fraud juga terjadi di negara lain.
"Data yang kami monitor di negara-negara lain itu 5%-10% dari klaim untuk asuransi kesehatan adalah fraud. Untuk Amerika Serikat (AS) itu 5%-10% itu sekitar US$ 10 miliar. Untuk negara-negara berkembang itu lebih tinggi lagi 6%-12%. Indonesia diperkirakan 5% dari total klaim-nya itu sebenarnya fraud," ujar Ogi saat Forum Group Discussion dengan media di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (12/6).
Sebagai informasi, berdasarkan data AAJI, total pembayaran klaim kesehatan mencapai Rp 5,83 triliun pada kuartal I 2025. Nilai ini turun 2,2%, jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 5,96 triliun.
Baca Juga: Soal Penerapan Co-payment, AAJI Imbau Perusahaan Asuransi Jiwa Lakukan Hal Ini
Selanjutnya: Tiga Saham Perusahaan Militer ini Melonjak Pasca Serangan Israel ke Iran
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Vitamin C untuk Rambut, Cegah Uban hingga Rambut Rontok!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News