Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam situasi pandemi, pemerintah dan regulator mulai mencari opsi penjagaan kebutuhan likuiditas. Sebabnya, tingginya tren restrukturisasi perbankan saat ini memang membuat kebutuhan likuiditas semakin meningkat.
Nah, untuk memenuhi hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut pemerintah nantinya akan memberikan bantuan likuiditas ke sektor perbankan.
Skemanya antara lain melalui penempatan dana kepada bank anchor atau biasa disebut dengan istilah bank jangkar. Nah, bank ini terdiri dari bank-bank besar milik pemerintah atau bank swasta.
Baca Juga: Terdampak corona, perbankan berharap ada keringan dari iuran wajib ke regulator
Menurut sumber KONTAN, tiga bank besar yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) lah yang kemungkinan akan menjadi bank jangkar.
Wajar, tiga bank tersebut memang merupakan bank paling besar di Tanah Air terutama dari sisi permodalan maupun aset.
Adapun, nantinya pemerintah akan menempatkan dana baru dari hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ke Bank Indonesia (BI). Lalu, dana tersebut akan diparkir di ketiga bank atau BUKU IV yang ditunjuk sesuai dengan keahlian masing-masing bank untuk nantinya disalurkan kepada bank yang membutuhkan.
"Sampai sejauh ini, tiga bank ditunjuk. Bank BRI untuk UMKM, Bank BCA dan Bank Mandiri untuk restrukturisasi komersial dan debitur BUMN," kata sumber KONTAN.
Baca Juga: Likuiditas jangka pendek Bank BTN dan Bank BCA masih tebal
Menanggapi hal tersebut, Head of Research PT Samuel Sekuritas, Suria Dharma menyebut wacana tersebut memang telah digaungkan belum lama ini oleh OJK.
Sederhananya, bank jangkar ini nantinya akan memberikan likuiditas bagi bank yang membutuhkan untuk kebutuhan restrukturisasi.
Menurut kacamatanya, langkah ini sangat realistis dan wajar untuk jangka pendek dan menengah. Tujuannya tak lain agar cadangan likuiditas di BI tetap pada posisi yang cukup.
"Sekarang bank kan bisa ambil dana di BI pakai term repo dengan underlying SBN, atau bisa juga interbank. Tapi supaya tidak semua bank ambil dana di BI, dibentuklah bank jangkar ini agar likuiditas di BI tetap memadai kalau nantinya dibutuhkan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (10/5) malam.
Nah, nantinya bank yang berniat meminjam likuiditas dari bank jangkar akan menjaminkan kredit yang direstrukturisasi sebagai jaminan.
Bila bank tersebut tidak mampu membayar, akan dijaminkan oleh pemerintah. Tentunya dengan beragam syarat dan ketentuan yang lebih dulu harus dipenuhi.
Baca Juga: DPR: Tidak tepat Himbara ditunjuk sebagai penyangga likuiditas perbankan
Bila merujuk catatan Kontan.co.id, berdasarkan data yang dihimpun dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) kebutuhan likuiditas perbankan ke depan bakal meningkat.
Hitung-hitungan kasarnya, untuk memenuhi kebutuhan restrukturisasi kredit segmen UMKM bank butuh dana Rp 160 triliun hingga Rp 170 triliun untuk enam bulan ke depan.
Kemudian, untuk segmen korporasi dan komersial kebutuhan dana secara maksimal bisa mencapai Rp 585 triliun bila seluruh debitur terdampak Covid-19 direstrukturisasi.
Menurut Suria, saat ini prioritas utama pemerintah adalah untuk menggawangi restrukturisasi kredit UMKM. "Intinya channeling likuiditas, dan pastinya UMKM dulu karena nilainya dan debiturnya banyak sekali," katanya.
Sementara itu, Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar menegaskan bahwa pihaknya saat ini memang sedang fokus merestrukturisasi kredit. Tetapi, bukan hanya pada level korporasi dan komersial saja, perseroan juga merestrukturisasi kredit segmen UKM dan konsumer.
Baca Juga: Naik 11,8%, laba bersih CIMB Niaga tembus Rp 1,1 triliun di kuartal I
Justru, Royke menyebut mayoritas nasabah Bank Mandiri yang meminta keringanan berasal dari segmen UKM, mikro dan konsumer.
Adapun, mengenai ditunjuknya Bank Mandiri sebagai salah satu bank jangkar, pihaknya menyebut hal tersebut masih dalam pengkajian oleh regulator. "Kami menunggu petunjuk pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah)," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (10/5).
Royke menambahkan, kalaupun rencana tersebut terimplementasi, Bank Mandiri hanya akan bertindak sebagai perantara saja. Sementara, sumber dana untuk likuiditas bank yang membutuhkan bersumber dari Pemerintah.
Selain itu, bank yang diperkenankan untuk meminjam likuiditas dari bank jangkar harus lebih dulu mendapat rekomendasi dari OJK dan risikonya ditanggung oleh Pemerintah.
Namun, tentunya kebijakan ini menuai kontra dari pihak legislator.
Baca Juga: Terimbas corona, Bank Mandiri merestrukturisasi kredit Rp 46 triliun hingga 7 Mei
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan penunjukkan bank terutama Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) tidak tepat. Pasalnya, stabilitas keuangan merupakan tanggung jawab dan tugas dari Bank Indonesia serta anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Dia menambahkan, harus ada aturan yang jelas bila Himbara tetap ditunjuk sebagai penyangga likuditas.
"Setidaknya harus ada aturan dan peraturan yang jelas misalnya sumber pendanaan harus dari penempatan pemerintah (bukan dari DPK bank Himbara). Lalu, porsi penempatan dana ke Himbara harus lebih besar dibanding ke swasta," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News