Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Yudho Winarto
Asal tahu saja, aturan BI yang baru ini memberikan penambahan GWM dalam rupiah rata-rata bagi bank konvensional dari 1,5% menjadi 2% dari keseluruhan kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah bank bank konvensional sebesar 6,5%.
Nah, untuk bank syariah pemberlakuan ini sedikit berbeda, yakni sebesar 2% dari keseluruhan kewajiban GWM dalam rupiah sebesar 5%.
Dengan kata lain, Dhias menyebut aturan ini jelas lebih meringankan bank syariah dalam mengelola likuditasnya agar lebih efektif.
"Bagi bank syariah hal tersebut menguntungkan terkait penggunaan likuiditas, baik fleksibel dalam penggunaan likuditas akibat penarikan pembiayaan maupun untuk placement dan borrowing dari pasar uang," ujarnya.
Selain Dhias, Direktur Utama PT Bank BCA Syariah John Kosasih pun sependapat dengan langkah BI. Pihaknya yakin, secara jangka panjang aturan baru ini akan memberikan dampak positif bagi kesehatan perbankan serta mendorong pembiayaan.
"GWM perlu diatur seperti saat ini. Ada GWM primer dan sekunder, dengan mekanisme rata-rata," katanya. Menurutnya, memang kondisi financing to deposit ratio (FDR) bank umum syariah memang cenderung ketat.
Hal ini bukan alasan, pasalnya bank syariah harus menjaga tinggi FDR guna mengoptimalisasi modal untuk menghasilkan kemampuan laba. Singkat kata, dengan kelonggaran yang diberikan oleh bank sentral, bank syariah akan punya ruang lebih luas untuk mengelola dananya
"Perbankan syariah saat ini perlu ditelaah antara BUS dan UUS. Kalau BUS FDR tinggi artinya (bank tersebut) mengoptimalisasi modal untuk menghasilkan kemampuan laba. UUS cenderung lebih tinggi FDRnya, karena masih gandeng induk," tuturnya.