Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pembenahan tata kelola Bank Perekonomian Rakyat (BPR) nampaknya akan menjadi pekerjaan rumah yang panjang bagi regulator, sebab telah banyak BPR yang terus ditutup karena masalah fraud.
Berdasarkan data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) total BPR selama kurun waktu 5 tahun terakhir telah menyusut 10,58% secara tahunan (year on year/YoY).
Jika dirinci jumlah BPR pada September 2019 tercatat sebanyak 1.578, menyusut sebanyak 167 BPR menjadi 1.411 per September 2023. Sementara itu jika melihat data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sejak 2019 sampai 2023, sebanyak 28 BPR sudah dicabut izin usahanya, dan 4 di antaranya sedang dalam proses likuidasi.
OJK memang sejak awal telah mendorong efisiensi BPR dengan solusi merger dan konsolidasi. Di sisi lain Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan jumlah BPR saat ini masih tergolong terlalu besar.
Baca Juga: Bisnis Paylater Mampu Menopang Kredit Konsumsi Perbankan
Dia bilang perkiraan jumlah ideal BPR di Indonesia yang bisa di-manage secara sistem yakni sekitar 1.000 BPR. Alhasil, dia juga memproyeksikan penurunan jumlah BPR akan terus menyusut ke depannya.
“Harus kita lakukan merger atau akuisisi konsolidasi ya. Nanti kita lihat mana yang paling appropriated,” kata dia belum lama ini.
Sementara itu Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kondisi BPR sendiri secara agregat sebenarnya sudah terus membaik dan mendekati kinerja sebelum COVID-19. Namun memang sejumlah BPR menimbulkan permasalahan besar.
Josua menyebut beberapa faktor masalah yang mengharuskan BPR harus dilakukan efisiensi adalah pelanggaran hukum termasuk fraud, dimana perorangan atau grup bisa memiliki lebih dari 1 BPR, dan masih banyak BPR yang belum memenuhi syarat dan ketentuan kebutuhan modal minimal sehingga perlu dilakukan merger, akuisisi, atau konsolidasi.
Josua juga menilai pengurangan BPR dilakukan sebagai bentuk efisiensi dikarenakan jumlah BPR yang terlalu banyak dapat menimbulkan kompetisi yang tidak sehat dan berisiko dimana pada perebutan penghimpunan DPK akan menawarkan return yang terlalu tinggi yang malah akan membebani kinerja BPR di tengah kondisi ekonomi global dan domestik saat ini yang penuh dengan ketidakpastian.
"Oleh sebab itu langkah melakukan efisiensi kami rasa sudah cukup tepat guna menyehatkan industri BPR. Apalagi peluang industri BPR untuk tumbuh ke depan cukup besar dimana saat ini masih banyak sekali masyarakat dan pelaku usaha mikro yang terjerat rentenir dan pinjol ilegal yang harusnya ini bisa digarap BPR," kata dia kepada Kontan, Selasa (12/12).
Baca Juga: Diversifikasi Jadi Kunci Penyaluran Kredit Bank Of India Indonesia (BSWD) Tahun 2024
Lebih lanjut Josua mengatakan adapun dampak BPR ke ekonomi makro Indonesia tidak dapat dikatakan besar, namun regulator tetap perlu berhati-hati mengingat ada penempatan dana BPR pada bank umum sehingga dapat memiliki dampak sistemik.
"Oleh karena itu, kami melihat efisiensi BPR guna menjamin kesehatan sistem perbankan menjadi solusi yg cukup tepat," kata dia.
Pengamat Perbankan Senior Vice President LPPI Trioksa Siahaan juga mengatakan hal serupa dimana merger dan konsolidasi adalah cara terbaik untuk mencegah kebangkrutan BPR agar semakin memperkuat modal. Sementara itu terkait dengan fraud, Trioksa bilang perlu ada perhatian regulator dalam melakukan fungsi pengawasan kepada internal BPR.
"Perlu membangun internal control yang baik jika semakin banyak terjadi fraud di operasional bank, penyebabnya salah satunya ada kesempatan, dan juga internal control yang kurang, satu adanya kebutuhan dari karyawan bank itu sendiri, makanya terjadi fraud," kata dia.
Trioksa juga mengatakan dimana BPT perlu melakukan pengawasan internal dengan berkolaborasi dengan pihak eksternal seperti OJK, hal ini bisa dilakukan melalui penyuluhan.
Ke depannya, dia juga memproyeksikan akan semakin banyak BPR yang gulung tikar maupun yang melakukan efisiensi dengan konsolidasi.
"Karena OJK juga menginginkan efisiensi, maka tahun depan akan semakin banyak bank yang ditutup atau dikurangi, bisa susut menjadi sekitar 400-600 BPR untuk menciptakan BPR yang sehat dan dapat melayani masyarakat dengan keuangan yang sehat dan stabil," terangnya.
Di sisi lain, Direktur Bisnis BPR Hasamitra I Made Semadi mengatakan ke depannya tantangan BPR dalam industri ini yakni terhadap penyaluran kreditnya.
"Tantangan pada segmen kredit konsumtif, dalam menghadapi tantangan ini ke depannya akan lebih fokus menggarap kredit produktif seperti kerjasama dengan wiraswasta, perusahaan dan lainnya," kata dia kepada Kontan, Selasa (12/12).
Made juga merinci, salah satu strategi bisnis ke depan yakni terkait pengembangan layanan digitalisasi dan peningkatan kredit produktif melalui outlet-outlet Hasamitra yang tersebar di wilayah-wilayah baru.
"Kami juga berupaya untuk melakukan penyaluran kredit yang sehat," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News