Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kualitas aset perbankan masih perlu terus dicermati karena rasio kredit bermasalah (Non performing loan/NPL) terlihat masih meningkat pada paruh kedua tahun 2025.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rasio NPL gross berada di level 2,28% per Agustus 2025, meningkat dari periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 2,19%. Tak berbeda, NPL Net juga ada di level 0,87% meningkat dari periode sama tahun sebelumnya sebesar 0,78%.
Kenaikan rasio NPL juga terjadi di beberapa bank. Ambil contoh, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), memiliki rasio NPL 3,08% per September 2025, meningkat dari 2,90% di September 2024.
Pemburukan kualitas kredit ini pada akhirnya membuat bank yang akrab dengan wong cilik ini perlu meningkatkan beban pencadangan 14% secara tahunan menjadi Rp 33,57 triliun di sembilan bulan pertama tahun ini.
Baca Juga: BI Ingatkan NPL Kredit Konsumsi Trennya Cenderung Meningkat
Walau demikian, BRI juga menyediakan pencadangan yang sangat memadai dengan NPL coverage ratio sebesar 183,1%.
Mucharom adalah Direktur Manajemen Risiko BRI menyampaikan, hal ini mencerminkan tingkat kewaspadaan dan kehati-hatian perseroan dalam mengantisipasi potensi risiko di masa mendatang.
“Dengan coverage ratio yang sangat memadai ini, kami tidak hanya mampu menjaga stabilitas neraca secara berkelanjutan, tetapi juga memberikan keyakinan kepada investor, regulator, dan seluruh stakeholders bahwa perseroan memiliki fundamental yang kuat dalam menghadapi dinamika ekonomi dan tantangan pasar ke depan,” ujar Mucharom saat paparan kinerja perseroan, Kamis (30/10/2025).
BRI disebut menempatkan pengelolaan risiko sebagai salah satu pilar utama dalam mendukung pencapaian visi perusahaan. Perseroan telah memiliki roadmap implementasi manajemen risiko yang berfokus pada peningkatan risk modeling serta pemantauan risiko kredit yang lebih prediktif dan granular.
Bank Tabungan Negara (BTN) juga menghadapi risiko penurunan kualitas kredit. Pasalnya NPL per September terlihat naik di level 3,4% dari 3,2% di periode sama tahun sebelumnya.
Alhasil perseroan meningkatkan beban pencadangan 230,4% secara tahunan menjadi Rp 4,4 triliun di sembilan bulan pertama tahun ini.
Setiyo Wibowo, Direktur Risk Management BTN menjelaskan, bahwa peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh penurunan kemampuan bayar sebagian debitur yang sebelumnya mendapatkan restrukturisasi kredit selama masa pandemi Covid-19.
Baca Juga: NPL KPR Secara Industri Alami Tren Peningkatan, Begini Kata Bank Danamon
“Penyebab kenaikan NPL di kuartal III terutama dipengaruhi oleh penurunan kemampuan bayar sebagian debitur yang pernah direstrukturisasi saat pandemi Covid-19, seiring berakhirnya masa keringanan,” ujar Setiyo.
Lebih lanjut ia menyebut, tekanan paling besar datang dari segmen pekerja swasta. “Segmen dengan kredit macet tertinggi dominan berasal dari debitur ritel atau pekerja swasta yang sebelumnya mendapat restrukturisasi pandemi,” jelas Setiyo.
Meski sempat meningkat, pihaknya optimistis tren NPL akan kembali terkendali hingga akhir tahun. Dengan berbagai langkah penanganan yang tengah dijalankan, perseroan menargetkan rasio NPL dapat terjaga di kisaran sekitar 3,1% hingga akhir 2025.
“Dengan langkah-langkah strategis yang sedang kami jalankan, kami memperkirakan tren NPL akan berangsur membaik dan tetap terkendali,” ungkapnya.
BTN melakukan sejumlah upaya untuk menjaga kualitas kredit dan memperkuat manajemen risiko. Beberapa langkah tersebut meliputi re-engineering proses bisnis secara prudent di seluruh siklus kredit, serta memperkuat underwriting menggunakan learning machine dan artificial intelligence (AI) agar penilaian risiko lebih presisi.
Selain itu, BTN juga mengubah sistem collection management berbasis data analytics guna memperkuat fungsi early warning dan strategi penagihan yang lebih tepat sasaran. Perseroan pun mempercepat proses asset recycle untuk mempercepat pemulihan dan mengoptimalkan kualitas aset.
"Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu menjaga kualitas portofolio kredit BTN tetap sehat di tengah transisi pascapandemi dan dinamika ekonomi yang masih menantang," imbuhnya.
Baca Juga: Bersih-Bersih Aset Buruk di Dua Bank Ini Belum Beres
Setali tiga uang, rasio NPL Bank Mandiri meningkat dari 1,13% ke 1,19% di September 2025. Hal ini membuat perseroan meningkatkan penadangan 9,77%.
Novita Widya Anggraini, Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri mengatakan, bahwa perseroan menyadari dan mencermati bahwa situasi saat ini masih sangat menantang, seperti ketidakpastian ekonomi global, arah kebijakan moneter dan daya beli domestik yang masih dalam tahap pemulihan.
"Melihat kondisi tersebut, Bank Mandiri secara aktif akan terus melakukan upaya dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan risiko," kata Novita.
Salah satunya melalui pengelolaan diversifikasi portfolio, pemilihan sektor-sektor industri, serta tentu saja dengan disiplin di dalam memonitor performance dari nasabah-nasabah kami.
"Dengan demikian kualitas kredit akan tetap terjaga, sehat, dan dapat mendorong pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan," ucapnya.
Adapun Bank Central Asia (BCA) terlihat mulai mencatatkan perbaikan risiko penurunan kualitas kredit. NPL per September 2025 stabil di 2,1% secara tahunan, bahkan secara kuartalan sudah turun dari 2,2% di kuartal kedua 2025.
Baca Juga: Perbankan Digital Jaga Kualitas NPL di Tengah Tekanan Ekonomi
Vice President Corporate Communication and Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyampaikan, bahwa BCA terus mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk menjaga kualitas kredit dan mengelola risiko non-performing loan (NPL) secara optimal.
"Kami juga menyediakan solusi proaktif kepada nasabah dalam rangka memitigasi risiko dan menghindari potensi peningkatan NPL, yang hingga saat ini masih terkendali," jelasnya.
Pihaknya optimistis tahun 2025 akan menawarkan berbagai peluang baru bagi industri perbankan, mengingat prospek ekonomi Indonesia yang tetap positif.
"Kami akan terus berupaya menjaga keseimbangan pertumbuhan profitabilitas, likuiditas, serta kualitas kredit ke depan," ujar Hera.
Moch Amin Nurdin, Advisor Banking & Finance Development Centre (BFDC) menilai, bahwa kenaikan NPL bukan semata karena kualitas kredit baru, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kredit eksisting yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi.
“Kalau kredit tidak tumbuh dan proses penagihan menemui banyak kendala, maka NPL akan cenderung naik,” ujarnya.
Menurutnya, tekanan terbesar masih berasal dari segmen UMKM dan komersial, yang merupakan “bawaan pandemi” dan belum seluruhnya selesai direstrukturisasi. “Masih ada kredit yang terdampak pandemi dan belum bisa tuntas hingga saat ini,” tambahnya.
Amin memperkirakan rasio NPL secara umum masih akan meningkat dalam waktu dekat. Hal ini seiring belum adanya perubahan signifikan dalam laju pertumbuhan kredit hampir di semua segmen. “Menurut saya, NPL masih akan naik, karena belum ada peningkatan penyaluran kredit secara umum,” jelasnya.
Untuk menjaga kualitas aset, perbankan disarankan memperkuat strategi penagihan dengan cara yang lebih kreatif dan inovatif. Selain itu, bank juga perlu mendorong pertumbuhan kredit berkualitas di sisa waktu tahun ini guna menjaga keseimbangan portofolio.
“Bank harus berupaya melakukan penagihan dengan berbagai cara yang kreatif dan inovatif, sekaligus meningkatkan pertumbuhan kredit yang berkualitas,” kata Amin.
Ia juga menambahkan pentingnya menjaga rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) pada level yang memadai. “CKPN yang cukup penting untuk menahan risiko penghapusbukuan agar tidak memengaruhi laba dan modal bank,” ujarnya.
Selanjutnya: Demi Dorong Investasi, Danantara Perlu Diversifikasi Sumber Pendapatan
Menarik Dibaca: 3 Fakta Tentang Pori-Pori Wajah, Benarkah Bisa Dihilangkan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













