Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank besar di kelas bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 bakal mengandalkan dana pihak ketiga buat menopang likuiditas. Sementara bank cilik masih perlu cari pendanaan lain.
Dari catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selama pandemi DPK perbankan memang terus meningkat per bulan. Pada April pertumbuhannya mencapai 8,08% (yoy).
PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mencatat pertumbuhan paling tingi sebesar 16,8% (yoy) menjadi Rp 741,02 triliun. Pertumbuhan ini utamanya ditopang oleh dana murah alias current account and saving account (CASA).
Baca Juga: Bank Menjaga Dana Likuid Agar Tidak Menyusut
Dalam paparan virtual perseroan pekan lalu Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja menyatakan, pertumbuhan DPK yang signifikan ini bakal menjadi kunci likuidiitas perseroan selama pandemi berlangsung.
“Likuiditas kami cukup baik selama kuartal I-2020, untuk menghadapi pandemi ini cukup, sehingga kami tidak butuh rights issue, atau menerbitkan obligasi,” katanya.
Ia menambahkan, pertumbuhan utamanya ditopang dari simpanan giro, terutama dari nasabah korporasi yang tumbuh 22,3% (yoy) menjadi Rp 202,20 triliun.
Hal berbeda terjadi di BUKU 1, dan BUKU 2, meski mengaku juga menikmati berkah
Baca Juga: Dibayangi risiko gagal bayar, permintaan terhadap obligasi korporasi turun
Tak cuma bank-bank besar yang menikmati pertumbuhan DPK, sejumlah bank kecil-menengah di kelas BUKU 1, dan BUKU 2 ikut menerima berkahnya. PT Bank Mayora misalnya mencatat pertumbuhan DPK 22,53% (yoy) menjadi Rp 5,44 triliun pada kuartal I-2020.
Meski demikian, Direktur Utama Bank Mayora Irfanto Oeij bilang perseroan memang punya rencana pendanaan anorganik untuk membantu menghadapi tantangan likuidiitas saat pandemi
“Sumber likuiditas kami saat ini masih cukup ditopang DPK, meskipun kami memang ada rencana pendanaan anorganik namun saat ini masih dalam pertimbangan,” katanya kepada KONTAN, Senin (1/6).
Adapula PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk (SDRA) yang pada kuartal I-2020 mencatat pertumbuhan DPK perseroan tumbuh 13,76% (yoy) menjadi Rp 19.28 triliun.
Baca Juga: Penyaluran kredit Bank Sahabat Sampoerna ke sektor UMKM capai 61% di kuartal I-2020
Direktur Business Support Bank Woori Sadhana Priatamadja bilang pertumbuhan DPK Perseroan juga ditopang oleh dana murah, utamanya juga dari giro.
“Saat ini kami memang fokus untuk menghimpun dana murah, untuk deposito cenderung kami lepas karena kami tidak mau menawarkan bunga simpanan tinggi,” katanya kepada KONTAN, Senin (1/6).
Meski demikian, perlu dicatat loan to deposit ratio (LDR) perseroan cukup ketat, per Maret 2020 berada pada level 152,03%. Maklum pertumbuhan kredit perseroan melaju lebih cepat sebesar 22,86% (yoy) menjadi Rp 29,32 triliun.
Baca Juga: OJK akui kinerja sektor keuangan ikuti perlambatan ekonomi
Sadhana bilang untuk menambal likuidiitas, perseroan bakal mengandalkan pinjaman modal kerja dari sejumlah bank. Pertengahan Mei lalu, perseroan juga telah menerima pinjaman Rp 2 triliun dari BCA.
Sadhana bilang pinjaman modal kerja lebih memiliki praktis, dan berefek lebih besar terhadap net stable funding ratio (NSFR) dibanding melalui skema pasar uang antar bank (PUAB) atau pendanaan anorganik lainnya.
Di sisi lain, Sadhana juga mengaku pihaknya belum tertarik memanfaatkan fasilitas pinjaman likuiditas via skema bank jangkar. Maklum, risikonya cukup besar jika terjadi gagal bayar, bank peminjam bisa ditetapkan sebagai bank gagal oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Sedapat mungkin kami memenuhi likuidiitas tanpa skema bank jangkar. Pemegang saham juga berkomitmen membantu likuidiitas kami jika dibutuhkan, di samping itu juga kami memiliki beberapa fasilitas pinjaman dari bank lain selain BCA,” sambungnya.
Baca Juga: Jadi penopang saat pandemi corona, bank justru akan mengerem ekspansi kredit valas
Sementara PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR) juga bakal menyiapkan aksi rights issue pada kuartal III-2020 senilai Rp 500 miliar untuk mempertebal modal perseroan.
Meskipun pertumbuhan DPK perseroan sejatinya juga tumbuh mumpuni sebesar 17,89% (yoy) senilai Rp 2,20 triliun. perbandingan tersebut dihitung kumulatif dari DPK Bank Oke dan PT Bank Dinar Indonesia lantaran perseroan baru melakukan penggabungan usaha pada akhir 2019 lalu.
“Kalau dihitung secara kuartalan, kuartal I-2020 memang DPK kami cukup mepet menopang likudiitas. Makanya sejak kuartal II-2020 kami mulai gencar mencari DPK lagi. Di samping itu, kai juga akan right issue pada kuartal III,” katanya kepada KONTAN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News